Rasanya baru akhir bulan kemarin tiba-tiba ajakan nonton film Semes7a di-publish ke grup Kompasianer Palembang. Saat itu, aku sama sekali nggak tahu film tentang apa Semes7a itu. Dan aku pun sama sekali nggak mencari tahu. Selentingan yang kutahu hanya film ini tentang alam dan diproduseri oleh aktor kawakan Indonesia, Nicholas Saputra. Selebihnya seperti jalan cerita bahkan trailernya pun aku buta.
Ajakan nonton itu berbuah kesepakatan nonton bersama dengan anggota Kompasianers Palembang. Adalah Kak Yayan dan Bicik Kartika yang vokal untuk nonton film ini. Bisa dibilang keduanya memang ‘pecinta’ film-film. Tak jarang mereka mereview film-film terbaru yang tayang di bioskop. Sedangkan aku? Hanya bermodal rasa penasaran saja. Hahaha.
Mungkin inilah yang melatarbelakangi momen paling penting yang nyaris membuatku absen menonton: lupa membeli tiket! Ya, di Palembang sendiri, Semes7a tayang terbatas. Jadi, Roeang Hidoep sebagai sebuah komunitas yang bergerak di bidang campaign green act mengadakan nonton bareng di XXI Palembang Square melalui sistem preorder tiket. Namun, malapetaka terjadi. Aku sama sekali lupa untuk membeli.
Beberapa hari menjelang hari-H, aku kembali diingatkan oleh Kak Yayan dan Bicik Tika. Aku kelabakan. Segera aku menghubungi CP yang tertera untuk langsung membeli tiket. Akan tetapi semua sudah terlambat. Tiket ludes terjual. Alhasil, impian nonton film itu aku kubur dalam-dalam.
Namun, tahukah kalian sebuah pepatah ‘bila semesta berkehendak, apapun bisa terjadi?’ Nah, itulah yang kurasakan kemarin. Pukul 5 sore, aku mendadak ditelpol oleh Bicik Tika. Beliau bilang ada satu spare tiket yang lebih dan aku bisa membeli untuk pukul 6.45! Wah! Tahu rasanya kejatuhan durian runtuh? Begitu yang kurasakan. Akan tetapi, semua tidak berjalan mulus. Lima menit sebelum itu, aku ditelpon oleh orang tua bahwa kendaraan mereka rusak. Jadilah aku harus jaga rumah sementara satu orang adikku lagi keluar membawa motorku.
Mulanya aku ragu, namun dengan kemantapan hati (eaa) akhirnya pukul 6, adikku pulang. Segera aku tancap gas dan bertemu dengan Bicik Tika dan Kak Yayan di Palembang Square. Dan setelah tiket di tanganpun aku langsung girang! Dan setelah menonton, aku sama sekali tidak menyesal.
Dokumenter tentang Alam dan Manusia
Film ini dibuka dengan sebuah cerita dari Bali. Lalu lanjut ke suku pedalaman di Kalimantan. Kemudian menelusuri keindahan Nusa Tenggara Timur. Menyelam di laut biru Papua Barat. Berpetualang melihat gajah sumatra di Aceh, mendaki bukit kecil bernama Bumi Langit, lalu kembali ke kota besar Jakarta.
Ya, Semes7a bercerita tentang tujuh tokoh yang berada di wilayah-wilayah Indonesia. Mereka membawa ceritanya sendiri-sendiri namun dalam satu jalinan benang yang sama: alam. Ya, cerita tentang alam mungkin banyak kita dengar. Terbaru dengan tipe dokumenter yang menggetarkan jagat Indonesia: Sexy Killer. Akan tetapi, Semes7a berbeda. Untaian ceritanya tidak membosankan untuk terus disimak. Kita seperti didongengkan sebuah kisah tentang alam dan manusia. Tentang diri kita sendiri. Dan itu yang kita cari.
Ada tujuh tokoh utama yang menjadi penggerak Semes7a. Mereka mewakili tatanan budaya yang ada di masyarakat Indonesia. Tujuh tokoh berbeda latar belakang dan tujuan. Sebut saja Tjokorda Raka Kerthyasa, seorang tokoh budaya di Bali, Almina Kacili yang menjadi penggerak para wanita di Kapatcol Papua Barat, seorang imam dari Aceh yaitu M. Yusuf, Iskandar Waworuntu yang memilih tinggal di sebuah bukit di Yogyakarta, Romo Marselus Hasan yang tinggal di Flores Nusa Tenggara Timur, Pak Inam yang jadi kepala dusun Sungai Utik di Kalimantan Baras, dan Soraya Cassandra pendiri Kebun Kumara yang menetap di Jakarta.
Ketujuh tokoh itu membawa permasalahan yang berbeda tentang alam, tentang bagaimana seharusnya alam dan manusia bekerja. Pak Tjokorda memberitahu kita pentingnya sebuah keseimbangan. Tentang manusia sebagai makhluk mikrokosmos yang seharusnya memiliki kontrol terhadap apapun yang ada. Di sini kita akan dibawa ke hari-hari sebelum nyepi. Bali tak lagi jadi ‘Bali’. Saat nyepi, alam seolah memperbaiki diri.
Di pedalaman hutan Kalimantan, kita akan dibawa ke perkampungan warga di Dusun Sungai Utik yang sedang mempersiapkan diri untuk berpesta panen. Dengan modal ucapan leluhur mereka, laju deforestasi diharapkan melambat. Kebijaksanaan dalam mengelola hutan, larangan mengambil yang bukan seharusnya, hingga sikap dalam mensyukuri anugerah sang pencipta yang hingga sekarang masih membuat mereka bertahan. Bagi mereka, hutan bukan hanya sebuah tempat, namun rumah yang harus dilindungi. Sebab dari alamlah semua berasal.
Proses negosiasi dengan alam juga ditunjukkan oleh Romo Marselus. Dengan semangat gotong royong, ia beserta warga lain bertekad memanfaatkan alam untuk mengalirkan listrik. Dengan adanya PLTMH, warga yang semula bergantung pada mesin genset perlahan mulai menemukan kehidupan saat malam hari. Namun, perubahan terjadi. Alam yang mereka kira jinak perlahan berubah teriak. Banjir membumihanguskan apapun yang mereka bangun. Dan dari sinilah mereka diuji. Apakah akan kembali tanpa nikmat listrik atau mencoba memperbaiki. Alam memberikan tanda untuk manusia berusaha.
Lain waktu di ujung paling timur Indonesia, Almira Kacili mulai waswas. Ia tahu alam sedang salah. Hasil tangkapan tak sebanyak biasanya. Kejadian ilegal fishing menghancurkan karang-karang. Bersama para ibu lain, Almira memutuskan untuk melakukan Sasi: sebuah tradisi turun-temurun untuk menjaga laut. Hal itu semata-mata dilakukan sebagai ucapan terma kasih. Alam sudah berbaik hati untuk memberi.
Sebuah kampung di Aceh geger. Gajah masuk ke perkampungan lalu merusak setiap tanaman yang ditanam oleh warga. Beragam solusi diberi. Salah duanya ingin membuat seluruh gajah mati. Adalah M. Yusuf, seorang imam yang mencoba memberi pengertian bahwa yang salah bukanlah gajah, melainkan manusianya itu sendiri. Dalam proses hidup berdampingan dengan alam, kita tahu bahwa sesuatu takkan marah jika kita tidak mengganggu. Membunuh bukanlah solusi yang patut ditiru. M. Yusuf menekankan pentingnya kita mengerti alam sebab sesungguhnya alam selalu mengerti. Apapun yang terjadi.
Iskandar Waworuntu percaya bahwa thayyib berasal dari segala sesuatu yang terurai. Proses ia untuk ‘mencari ke dalam’ membuahkan pemikiran bahwa sesungguhnya, hijrah yang paling utama adalah dari apa yang kita makan. Ia percaya tak ada sesuatu yang diciptakan sia-sia. Ia mulai berbenah. Dengan membeli tanah di sebuah bukit di Imogiri Yogyakarta, ia menjalani kehidupan berdasarkan yang ia yakini: bahwa alam dan manusia adalah satu entitas yang harus hidup berdampingan.
Dan terakhir kita dibawa menyusuri ibukota Jakarta. Soraya bersama suaminya mencoba memberikan sebuah pendekatan cinta alam melalui perkebunan. Lewat Kebun Kumara, mereka memberikan edukasi, menyambung kembali hubungan yang terputus dari kaum urban dengan alam. Metode yang memperkenalkan bahwa alam tak pindah ke mana-mana. Ia selalu dekat dengan kita.
Dongeng dari Semes7a
Ketujuh cerita itu masih membekas terus di ingatan. Tentunya, semua deskripsi di atas tidak mewakili keseluruhan isi film. Karena film ini JAUH sekali lagi JAUH lebih bagus dari apa yang pernah kalian bayangkan. Gambar-gambar yang disajikan sangat memanjakan mata. Gila. Potret bali yang ciamik mampu ditangkap dengan begitu baik. Pun laut Papua dan pedalaman Kalimantan, semua terlihat jelas seolah-olah kita masuk ke dalamnya. Semuanya memikat.
Yang bikin aku bahagia juga alur temponya. Sutradara Chairunnisa sangat mampu menempatkan angle-angle gambar di titik-titik yang membuat kita ‘lebih aware’ terhadap para tokohnya. Perpindahan antara satu cerita ke cerita lainnya pun terasa mulus. Di awal kita sudah disajikan dengan keindahan bali, lalu dibawa mereda sedikit ke bagian tengah, dan puncaknya ke cerita yang memang sangat dekat dengan kita: kaum perkotaan.
Selain itu, pendekatan spiritual memang jadi sudut pandang yang segar seolah bilang apapun bentuk agama dan kepercayaanmu, alam selalu ada di situ. Sebuah pesan yang bold dan kapital. Kebergamaan Indonesia juga ditampilkan apik tanpa menjatuhkan pihak-pihak lain. Yang paling penting, pesan terhadap alam dan lingkungan disampaikan dengan bahasa yang ringan tapi tetap berbobot. Itu yang jadi nilai plus!
Dan after taste-nya bikin aku terdiam. Kayak ada godam besar di kepala bahwa kadang manusia itu jahat, ya. Dan aku bagian dari kategori itu. Film ini bikin aku merefleksi diri dan merenung tentang apa yang kuperbuat selama ini. Ya, sampai segitunya.
Jadi menurutku, Semes7a adalah film komplit. Ia tak berusaha untuk menggurui. Pesan yang ingin disampaikannya mungkin sederhana. Lewat tujuh tokoh yang bercerita, Semes7a ingin berkisah .
Alam selalu ada di sana dan tak pernah berubah. Ia akan selalu jadi rumah bagi manusia. Dan pertanyaannya adalah, siapkah kita semua berusaha agar rumah itu terus terjaga?
Cheers!
Sedih bangettttt! Udah nungguin film ini, tapi pas tayang bioskopnya pada jauh dari kosan, dan waktu tayang cukup singkat. Btw, Kebun Kumara ya Kak Bim.
BalasHapusjadi penasaran mau nontn film nya!
BalasHapusJadi ingat cerita penjaga penangkaran penyu di pulau sangalaki Kepulauan Derawan, musuh terbesar konservasi adalah manusianya sendiri. Manusia menjadi mata rantai paling tinggi dalam kepunahan satwa dilindungi disana.
BalasHapusBelum sempat lihat filmnya pas ramai dibicarakan.Jadi tambah penasaran kalau kaya ginikan kalau baca artikelnya Bimo
BalasHapusInspiratif ya filmnya, menggambarkan perjuangan dan idealisme para tokohnya. Pantas saja banyak yang suka dengan filmnya.
BalasHapusJadi ingat Film Marlina dengan keindahan Sumbawa nya
BalasHapusNonton semes7a ah, Terimakasih review nya ya