Adakah
yang ingat beberapa waktu lalu pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem
Makarim sempat viral di berbagai lini sosial media mengenai Hari Guru Nasional
2019? Dalam pidatonya Pak Menteri mengatakan dengan lugas bagaimana sebuah
regulasi dapat menghalangi para guru untuk bertindak. Dan di akhir dari tulisan
padat itu, ia menyebut guru adalah penggerak. Dari gurulah sebuah perubahan.
Dan Nadiem percaya bahwa dengan gerakan-gerakan itu kapal besar bernama
Indonesia itu dapat ikut bergerak.
Tak
dapat dipungkiri memang keberadaan guru adalah ujung tombak bagi pendidikan
Indonesia. Dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, bukan hanya
pada pelajaran semata, sudah seharusnya guru mampu membentuk para murid yang
ada di sekolahnya untuk bersikap dan bertindak. Termasuk pada Pancasila.
Menyadari hal itu, lima ratus orang guru dikumpulkan jadi satu di Shangri-La
Hotel Surabaya pada 29 November 2019 hingga 2 Desember 2019 oleh Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila untuk duduk bersama dalam tajuk Persamuhan Nasiona
Pendidik Pancasila. Dengan latar belakang guru agama, sejarah, hingga seni
budaya, guru-guru tersebut diberi bekal oleh para narasumber untuk turut serta
menjadi para pendidik Pancasila dan mengaplikasikannya ke ranah ajar
masing-masing.
Semua tumpah ruah. |
Lima ratus guru hadir. (Dok. Pribadi) |
Saya
pun bertemu dengan Pak Tri. Beliau adalah seorang pengajar di SMPN 1 Kenduruan
Jawa Timur yang juga menjadi teman sekamar saya. Pada suatu waktu, saat
senjang, kami bercerita benyak hal tentang Pancasila. Obrolan di dalam kamar
itu membuat saya sedikit tersentak.
“Pancasila
sekarang sudah tidak seperti dulu,” Pak Tri berujar saat kami membahas tentang
kegiatan yang kami jalani.
Saya
menegakkan duduk. “Memang dulu bagaimana, Pak?”
“Di
pemerintahan dahulu, Pancasila benar-benar jadi perekat. Ia selalu ada di dalam
kehidupan warga negara. Termasuk diajarkan ke para siswa. Namun sekarang,
semuanya seolah memudar.”
Saya
terdiam.
“Ya,
mungkin berbeda kebijakan maka berbeda juga prioritasnya, ya. Makanya, ketika
tahu ada acara ini, saya antusias untuk ikut. Ini artinya pemerintah memang
serius untuk menjadikan Pancasila kembali berjaya. Dan saya juga merasa
tersanjung sebab guru-guru dilibatkan dalam prosesnya. Ini adalah kemajuan di
tengah krisis ideologi seperti sekarang.”
Pak Tri bersama teman-temannya. (Dok. Pribadi) |
Saya
mengulas senyum tipis. Percakapan dengan Pak Tri adalah salah satu percakapan
yang paling saya suka saat ikut
berkegiatan kemarin. Dan seperti katanya di acara persamuhan ini para
guru dilibatkan bukan hanya sebagai pendengar namun sebagai penggerak. Beragam materi
diberikan oleh para narasumber untuk memperkaya arti dari Pancasila itu
sendiri. Sebut saja Ibu Risma, walikota Surabaya. Di hari kedua ia datang, saya
sudah terkesima.
Ibu Risma memberikan pandangan mengenai kebijakannya. (Dok. Pribadi) |
Beliau
berkisah banyak bagaimana kebijakan-kebijakan yang ia buat itu didasari oleh
pengamalan nilai-nilai Pancasila. Bagi Beliau, Pancasila mengajarkan kita untuk
bersikap terhadap apapun yang ada. Contohnya saja pada saat kebijakan tentang
taman yang banyak dicibir semua orang, Ibu Risma tahu bahwa kebijakannya itu
sudah benar. Ia ingin membangkitkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
lewat taman-taman yang ia dirikan. Dari taman-taman itu, kesenjangan orang tua,
remaja bahkan anak anak diminimalisir hingga menciptakan interaksi bagi sesama.
Satu kata yang saya ingat dari Ibu Risma bahwa “Jika kita mencintai Indonesia
kita tidak akan tega menyakitinya.”
Lakon bersama Sujiwo Tejo. (Dok. Pribadi) |
Ya
kata-kata itu buat suasana makin gemuruh sekaligus membuat saya merinding. Nggak
hanya sampai di sana pemateri selanjutnya Budayawan Sudjiwo Tejo pun memberi insight banyak tentang ‘Apakah Pancasila
Ada?’. Lewat tutur kisahnya ia kembali mempertanyakan hal paling penting dari
kehidupan masyarakat Indonesia. Beliau membuat saya dan guru-guru yang hadir
mempertanyakan satu-satunya pertanyaan yang ada: jika Pancasila ada, bagaimana
seharusnya kita?
Pak
Sujiwo Tedjo mengakhiri sesinya yang khidmat dengan tepuk tangan. Dan untuk
bberapa kali syair, lagu, dan perkataan yang Beliau beri membuatku merinding.
Ia mampu menyentuh sukma saya—mungkin pula guru-guru. Dan semuanya jadi terpagu.
Selanjutnya
Gabriel, salah satu ikon Pancasila dan tanah Papua mengambil alih. Ia menyampaikan
pandangannya bahwa di Papua, Pancasila adalah yang utama. Pancasila adalah
darah daging mereka. Ia juga menyampaikan bagi para guru pelajaran Pancasila
amat penting. Yang paling utama adalah bagaimana guru seharusnya mampu
mengamalkan terlebih dahulu Pancasila baru mengajarkannya ke para murid. Sebab,
guru seharusnya menjadi contoh anak didiknya. Hal ini tentu menampar para guru.
Gaby memberikan banyak pandangan baru bagaimana seorang murid berkaca terhadap
apa yang diberikan oleh gurunya. Dan diskusi setelah itu pun menghangat.
Gaby salah satu dari ikon Pancasila. (Dok. Pribadi) |
Persamuhan
Nasional Pendidik Pancasila kemarin adalah bukti bahwa guru memiliki kapasitas
besar untuk melakukan perubahan. Jika sekarang keyakinan akan Pancasila di hati
banyak orang itu memudar guru sudah seharusnya menyuburkan kembali benih-benih
Pancasila itu di hati anak didiknya. Pembekalan demi pembekalan kemarin adalah
langkah awal guru-guru untuk bergerak. Melihat semua yang serius memahami
dengan beragam pertanyaan yang menggetarkan hati saya yakin. Lima orang guru
yang hadir adalah orang yang mampu jadi agen penggerak. Karena seperti kata Pak
Tri, mereka adalah definisi pendidik Pancasila sesungguhnya.
Salam! (Dok. Pak Tri) |
Tidak ada komentar
Posting Komentar