Pernah nggak sih kalian
bertanya-tanya: apa sih arti ke-Indonesia-an bagi kalian? Untukku sendiri
selama aku hidup aku sama sekali tidak pernah memikirkan jawabannya. Hidup di
kota besar dengan keadaan yang nyaman membuatku tidak berusaha mencari apa arti
ke-Indonesia-an bagiku sendiri. Maksudku apa-apa ada. Mudah dijangkau lewat apa
saja. Satu-satunya jawaban yang kupunya adalah Indonesia sebagai negara
tempatku menetap.
Akan tetapi kemarin (26 – 30
November 2019) anggapan itu berubah drastis. Ternyata ke-Indonesia-an itu dapat
berwujud banyak hal. Kadang ia berwujud lagu-lagu kebangsaan yang dinyanyikan
berbarengan dengan semua orang dari Sabang hingga Merauke. Lain waktu ia
berwujud lenggak-lenggok sang penari yang bergerak diiringi musik-musik khas
daerah di tanah air. Bahkan secara sederhana ke-Indonesia-an itu berwujud
percakapan-percakapan kecil di meja makan bundar kala pagi siang hingga petang
menjelang.
Semua itu terjalin begitu saja
saat acara Persamuhan Nasional
dengan tajuk Pekan Bakti Bangsa. Beragam
orang dari beragam latar belakang, suku, agama dan ras berkumpul bersama selama
lima hari untuk menjawab bagaimana ke-Indonesia-an mereka melalui isu-isu yang
diberikan. Tak ada sekat yang melekat. Kami berkumpul bersama untuk berdialog,
berdiskusi, hingga merumuskan bersama solusi mengenai isu-isu kebangsaan.
CERITA-CERITA TENTANG INDONESIA
Di sana pula aku menemui Naga.
Ia adalah seorang mahasiswa dari Kalimantan Selatan yang vokal terhadap isu-isu
krusial kebangsaan. Naga adalah perwakilan anak muda yang semangat
mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila agar dapat diterima bagi seluruh warga
negara. Sebagai seorang perempuan dan minoritas, ia berjuang bagaimana semua
dapat menerima segala perbedaan dalam pandangan yang sama. Tanpa
membeda-bedakan satu hal pun.
“Sekarang orang-orang sibuk
mencari celah perbedaan, Bang!” Ia bercerita kepadaku ketika kami bertemu.
“Padahal seharusnya perbedaan yang menyatukan, bukan?”
Kata-kata itu merasuk di
pikiranku. Di tempatnya perbedaan itu kentara terasa. Apalagi dengan penampilannya
yang tomboi membuat mata yang memandang menjadi jengah. Stereotip itu yang
ingin ia ubah. Dan di sinilah tempatnya.
Aku pun menemui anak SMA yang
menjadi pionir Festival 28 Bahasa. Bayangkan, umur yang belum tujuh belas ia
sudah membuat festival yang menyajikan keberagaman bahasa yang ada di seluruh
Indonesia. Festival itu diadakan di pinggiran sawah sebuah kampung kecil yang
tak banyak orang berlalu-lalang. Namun semangat juangnya mampu mengatasi segala
rintangan dan membuat pesta rakyat yang sarat akan budaya bangsa.
Kami bercerita banyak tentang
bagaimana ia ingin memberikan mimpi-mimpi lain bagi anak-anak di kampungnya
untuk terus belajar. Baginya, festival itu bukan hanya bagian dari semarak saja
namun jauh lebih dari pada itu ia ingin dengan festival ini ia memberi langkah
kecil bagi orang-orang untuk menghormati keberagaman. Dan itu membuatku
tertegun lama.
Lain waktu, ketika makan siang
menjelang aku duduk semeja dengan kontingen dari Kediri. Ia berkisah banyak
mengenai Kampung Inggris. Dengan mata yang berapi-api ia dengan bangga bilang
bahwa kampungnya adalah yang terdepan. Pionir kampung bahasa kekinian. Namun itu
tidak bertahan lama. Masalah demi masalah muncul yang salah satunya adalah
pihak-pihak yang mengambil keuntungan atas kampung mereka. Kisah itu bergulir
menjadi miris. Orang-orang asli yang membangun kampung menjadi tersingkir. Tak
ada lagi ruang bagi mereka untuk menjamah. Kapitalis menyerang. Dan selama itu
pula ia merasa bahwa semua ini salah.
Dan puncaknya, ia tidak
menyerah. Dengan sekuat tenaga yang masih ia punya ia kembali membangun
kampungnya. Bersama warga lain ia menciptakan kampung-kampung Inggris baru. Tujuannya
sederhana. Ia ingin memberi ruang bagi para anak bangsa yang benar-benar ingin
belajar dan maju dengan harga yang terjangkau dan tidak berpura-pura. Dan hingga
sekarang, agar usahanya terdengar, ia pun ikut persamuhan.
Banyak sekali cerita yang
bergulir. Dan semakin aku mendengar selama lima hari berada di sana, tak
henti-hentinya bulu kudukku merinding. Ternyata terlepas dari apapun
masalahnya. Ke-Indonesia-an itu ada. Di hati orang-orang yang mempercayainya.
PARADE
BUDAYA, KEKAYAAN NYATA
“Dug! Dug!”
Bunyi itu semakin keras
terdengar. Ritmenya pun semakin lama semakin kencang. Di tengah acara persamuhan
kemarin, parade budaya terbesar yang aku pernah lihat hadir nyata di hadapan. Bermula
dari perayaan sumpah pemuda, parade budaya tak henti-hentinya tersaji indah. Tepat
tanggal 28 Oktober 2019, para peserta persamuhan nasional berkumpul bersama di
tepi pantai Anyer. Masing-masing dari mereka mengenakan pakaian khas daerah
beraneka rupa yang menambah semarak hari itu.
“Dug! Dug!”
Pukulan itu kembali terdengar.
Rampak Bedug adalah penanda pesta sudah dimulai. Kala itu, nyanyian lagu
Indonesia raya terdengar melantun indah oleh seluruh peserta dari pangkal hingga
ujung Indonesia. Tak hanya itu, iringan jimbe yang dibawa peserta pun beritme
sama dengan beduk yang dipukul. Seirama dengan itu, orang-orang mulai menari. Semua
bergembira tanpa mengenal siapa.
Kemeriahan berlanjut ke Festival
Beduk di titik 0 kilometer Anyer. Di tempat ini, kembali festival budaya di
gelar. Dengan saksi mercusuar yang kokoh, satu per satu kesenian ditampilkan. Dan
yang menjadi penggembira adalah hadirnya Gilang Ramadhan. Bersama penabuh beduk
lain, mereka memberikan pengalaman mendengar yang apik dan menyegarkan telinga.
Sangat cocok dengan latar senja.
Tak hanya sampai di situ, parade
budaya tak hentinya pun membuat suasana semakin panas di malam penutupan. Berbagai
kesenian khas daerah bersatu padu jadi satu. Sebut saja drama tarian hingga
seni rupa menghiasi malam penutupan yang indah. Semua berbaur tanpa sekat yang
melekat. Yang ada hanya kegembiraan.
Secara garis besar, Persamuhan
Nasional 2019 adalah sebuah forum ke-Indonesia-an bagi para hadirin yang
datang. Di sana isu-isu krusial pembakti kampung dibabat habis hingga jadi
rumusan yang bersifat rekomendasi ke pemerintah yang berwenang. Pun sebagai
layar terbuka kesenian Indonesia yang kaya dan beragam. Lewat acara ini aku pun
tahu bahwa menjadi Indonesia itu mudah: melihat ke dalam di sendiri apa yang
telah kau lakukan untuk negaramu tercinta.
Cheers!
Yea mas, saat perbedaan bisa diselaraskan dengan semangat persatuan lewat musik dan tari, maka jadi indah. Keren pisan
BalasHapusAcara ini menyuguhkan kekayaan Indonesia nyata di depan mata ya mas, seru, padahal kita sudah sekaya ini tapi ada aja yang bisa bikin pecah yaaa... semoga Indonesia selalu dilindungi tuhan :D salam kenal ya mas...
BalasHapusIndonesia yang kumpul jadi satu ya.
BalasHapusSenang bisa lihat unik dan kayanya kita.
Jangan diseragamin plis, begini aja udah cakep. :D