"Kue... Kue..."
Satu kata itu sering sekali
kudengar menjelang akhir pekan. Biasanya, tiap siang hingga petang, suara itu
terngiang-ngiang di kompleks perumahanku yang sepi. Ibarat alarm, dengan satu
kata itu, semua keluargaku langsung bergerak, memanggil sumber suara, lalu
berkumpul di teras rumah. Tak lama, sang pemilik suara pun muncul lalu
mengambil tempat duduk di hadapan kami. Dengan cepat, kami ikut duduk
melingkari.
Ibu Sri—biasanya kami lebih
sering menyebutnya dengan panggilan Bibi Kue—selalu berteriak menjajakan kuenya
tiap petang akhir minggu. Sedari aku kecil, ia masih betah berkeliling di
daerah sekitar rumahku. Dengan nampan besar yang terlihat lumayan berat, ia
membawa pelbagai jajanan pasar di atas kepalanya. Mulai dari pempek hingga
klepon. Dari agar hingga jongkong. Semua kue tradisional ada. Pun tak lupa
gorengan seperti tahu dan bakwan. Semua tersedia. Tak pernah berubah.
Nah, pada sore minggu lalu, seperti
biasa kami bertukar banyak percakapan. Di sela-sela ritual penyantapan jajanan
pasar yang ada di hadapan kami, ada lembaran-lembaran kisah yang turut keluar.
Beberapa waktu, aku akan cerita mengenai kehidupanku. Kuliah kerja, atau segala
macam. Lain waktu ia bercerita tentang keluarganya. Ia dan keluargaku seperti
dua orang asing yang sudah nyaman berbagi cerita.
Pada hari itu, ia bercerita tentang hari-harinya. Kisah dibalik nampan besar yang ia bawa di kepala. Aku baru tahu ternyata bahwa selama ini kue-kue yang kami makan bukanlah buatannya. Dari dulu, ia mengambil kue dari pembuat dengan syarat kue tersebut harus habis hari itu juga. Syarat itu cukup menyusahkan karena kadang, bila keadaan tidak mendukung, ia akan kembali tanpa satu kue pun yang terjual. Dan ini berlangsung belasan tahun, dan karena keadaan pula, ia hanya bisa pasrah.
Sempat aku bertanya kenapa ia
tidak memilih menjual sendiri kue-kue yang ia buat dan ia hanya tersenyum.
Baginya, modal untuk membuat kue-kue tersebut termasuk besar dan ia masih tidak
sanggup. Apalagi bila harus kredit ke lembaga keuangan. Bunga besar atau
cekikan rentenir menjadi-jadi. Ia tidak sanggup bila menjalani hidup bak cerita
orang-orang yang ditagih hutang. Aku mendengarnya saksama lalu diam. Percakapan
kami mengambang, tanpa satu solusi yang keluar.
Permasalahan itu mungkin terjadi nggak hanya bagi Ibu Sri. Potret usaha yang memiliki akses dana yang terbatas cukup membuat para pelaku ketar-ketir. Dapat dibilang usaha yang dilakukan oleh Ibu Sri adalah jenis usaha mikro. Banyak sekali contoh nyata usaha mikro dan ultra mikro yang ada di sekitar kita. Tengok saja pedagang-pedagang warung hingga pedagang kaki lima. Usaha mikro sendiri menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 adalah suatu usaha produktif milik keluarga atau perorangan warga negara Indonesia yang memiliki penjualan paling banyak Rp 100.000.000 per tahun. Sedangkan usaha ultra mikro memiliki definisi usaha yang lebih kecil.
Dalam perkembangannya, salah
satu permasalahan paling mendasar dari usaha jenis ini adalah ketersediaan
modal usaha. Saat ingin memajukan usaha mau tidak mau modal yang dibutuhkan itu
besar. Hal ini berpengaruh pada jumlah produksi untuk mendapatkan omzet yang
lebih besar. Berbanding terbalik dengan ketersediaan akses dana yang memadai. Hal
inilah yang kadang membuat para pelaku usaha mikro mati suri.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah sudah sangat fokus dengan kegiatan UMKM sebagai pendongkrak perekonomian Indonesia di skala yang paling kecil. Beragam kebijakan yang menguntungkan sektor ini dibuat. Hal ini bertujuan agar angin segar di bidang UMKM terus ada. Dalam hal akses terhadap pembiayaan pun, pemerintah tidak main-main. Beragam skema kredit program diluncurkan demi menjaga pembangunan ekonomi di sektor prioritas.
Namun, skema tersebut memiliki
keterbatasan. Dalam pelaksanaannya, skema tersebut tidak dapat diterapkan pada kelompok
usaha yang lebih kecil seperti usaha mikro dan ultra mikro. Kelompok ini meski
memiliki usaha yang layak dan produktif, namun tidak cukup ‘bankable’ untuk mengakses pembiayaan perbankan. Nah, menyikapi hal
ini, pemerintah melalui Kementrian Keuangan Direktorat SMI dan BLU Pusat
Investasi Pemerintah meluncurkan Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) sebagai solusi
bagi pelaku usaha yang membutuhkan dana tak lebih dari Rp 10 juta dengan mudah
dan cepat. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.05/2018 semua sudah
diatur.
Dalam pelaksanaannya, Pembiayaan
UMi menggandeng Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang dapat memberikan
pendampingan dalam kegiatan usaha. Kadang usaha mikro memiliki sumber daya yang
terbatas untuk mengembangkan usahanya. Untuk itulah, pendampingan ini bersifat
konseling agar terciptanya kemandirian usaha. Pendampingan dapat berupa
motivasi, konsultasi usaha, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan
pengawasan. Hal inilah yang membedakan pembiayaan UMi berbeda dengan Kredit
Usaha Rakyat (KUR). Selain itu skema dana bergulir dari pemerintah melalui APBN
yang disalurkan kepada masyarakat melalui penyalur sebagai Pembiayaan UMi juga
berbeda dengan KUR yang mengedepankan subsidi bunga.
Cara mendapatkan pembiayaan UMi
pun mudah. Calon debitur hanya perlu NIK, Surat Izin Usaha, dan tidak sedang
menerima pembiayaan lain. Dengan begini, pelaku usaha dapat mengaksesnya dengan
cepat dan mudah, bukan? Skema pinjamannya pun disesuaikan dengan karakteristik
wirausaha mikro yaitu pinjaman grup dan individu. Pada pinjaman grup, semua
anggota bertanggung jawab untuk maju bersama-sama dengan membayar anggunan
melalui tanggung renteng. Sedangkan untuk individu, lebih dipersiapkan untuk
dapat naik kelas meminjam dengan skema KUR.
Pembiayaan UMi adalah bukti
nyata bagaimana uang kita disalurkan. Bagi orang-orang seperti Ibu Sri,
pembiayaan modal usaha amat dibutuhkan demi melangsungkan usaha mereka. Meski saat ini sudah lebih dari 300.000 usaha yang menerima pembiayaan UMi, ini tidaklah cukup. diperlukan kembali sosialisasi-sosialisasi yang dapat merangkul para pelaku usaha agar dapat berkembang. Dewasa ini, jeratan renternir amat kuat bagi kalangan dengan usaha mikro. Pembiayaan UMi setidaknya mampu membuat dana yang dipakai sebagai modal adalah dana sehat, bukan berbunga yang menjerat. Bila
ini terus berjalan, bukan tidak mungkin nanti, pelaku usaha seperti Ibu Sri
dapat menjajakan kuenya sendiri.
#UMicroScope
#KenaliUMiLebihDekat
Tidak ada komentar
Posting Komentar