Sebagai pengangguran
banyak acara seseorang yang kadang memiliki kegiatan di luar rumah, mau
nggak mau saya selalu mengandalkan kendaraan bermotor untuk berkendara dari
satu tempat ke tempat lainnya. Alasannya sih simple: sepeda motor selalu dapat menerobos kemacetan Palembang
dengan lebih cepat.
Nah, seiring
perkembangan zaman, kendaraan bermotor pun ikut berubah. Sekarang, banyak motor
matic yang kita kunjungi di
jalan-jalan perkotaan. Kendaraan ini menggantikan ‘motor bergigi’ yang
sebelumnya jadi daily driver bagi
masyarakat. Di tengah gempuran motor matic
tersebut, mana yang lebih unggul?
Apa
sih yang ada di pikiran kalian ketika mendengar kata ‘Hutan’? Kalau saya sih
Mama. Loh kok? Tenang, kalian nggak salah baca kok. Selama ini, kata hutan
selalu terpatri erat dengan Mama di benak saya. Mama adalah seorang pegawai negeri
sipil di lingkungan kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Jadi, sudah tentu kata
itu selalu menempel pada dirinya. Dengan pekerjaannya sebagai abdi negara,
sedari dulu ia kerap pergi ke luar kota bahkan daerah terpencil. Saya
memang tidak tahu apa yang ia kerjakan namun yang pasti saya selalu
menantikannya kembali. Biasanya, ia akan membawa banyak sekali bawaan. Suatu
waktu, ia membawa madu hutan yang pahitnya bikin saya mual. Lainnya ia membawa
bumbu-bumbu masakan. Bahkan terkadang kain beraneka rupa warna yang ia
sodorkan. Jika ditanya dari mana, Mama akan selalu menjawab dengan dua kata, “Dari
hutan!”
Semakin
beranjak dewasa, saya semakin mengerti pekerjaan Mama. Ia bernaung dalam Balai
Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) yang memiliki tugas untuk memfasilitasi
pengelolaan hutan produksi baik perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi hutan produksi dan industri hasil hutan. Mungkin karena itulah Mama
sering membawa produk-produk hasil hutan sekembalinya ia dari dinas. Tak hanya
itu, saya pun juga sering berdiskusi dengan Mama mengenai hutan.
Tengok saja ketika kasus kabut asap parah yang melanda Sumatera Selatan tahun
2015 silam, Mama selalu memberikan jawaban atas pertanyaan saya lalu
menjelaskan panjang lebar mengenai bagaimana itu dapat terjadi. Sewaktu SMA pun saat saya mendapatkan
tugas membuat karya ilmiah, saya tidak segan bertanya dengan Mama apa yang
harus saya buat. Darinyalah ide membuat obat nyamuk elektrik berbahan minyak atsiri
durian saya buat. Dan itu membuat saya lulus menjadi anggota Kelompok Ilmiah
Remaja (KIR) di SMA.
Banner Forest Talk with Blogger di Palembang
Nah,
Sabtu (23/3) lalu, saya kembali teringat percakapan-percakapan saya dengan Mama
mengenai hutan. Berkat undangan dari Yayasan Doktor Sjahrir (YDS) dan
Climate Reality Indonesia, saya hadir di acara Forest Talk with Blogger Palembang. Jadi, sang penyelenggara Yayasan Doktor Sjahrir adalah organisasi nirlaba yang fokus pada pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Sedangkan Climate Reality Indonesia adalah organisasi nirlaba yang fokus pada perubahan iklim global. Acaranya diadakan di Kuto Besak
Theater Restaurant (KBTR) dan menghadirkan tema yang nggak main-main “Menuju Pengelolaan Hutan Lestari”.
Saat mendapati tema ini di pamflet pendaftaran pun saya sudah amat tertarik.
Belum lagi melihat deretan narasumber yang akan mengisi, otomatis saya tidak
pikir dua kali untuk ikutan. Narasumber kece tersebut yaitu: 1. Dr. Amanda Katili Niode (Manager Climate Reality Indonesia) 2. Dr. Atiek Widayati (Tropenbos Indonesia) 3. Ir. Murni Titi Resdiana, MBA (Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim) 4. Janudianto (Head of Social Impact & Community Development APP Sinar Mas) 5. Amril Taufik Gobel (Moderator)
Jadilah,
hari itu pagi-pagi sekali saya bersiap. Berbekal kamera untuk mengabadikan dan
buku catatan untuk menulis materi yang akan disampaikan, saya memacu kendaraan
saya menuju KBTR. Kurang lebih tiga puluh menit saya menembus jalanan kota
Palembang, akhirnya saya sampai di kawasan wisata Benteng Kuto Besak. Saya pun
langsung memarkirkan kendaraan di venue acara lalu berjalan menuju pintu masuk.
Dalam hati, jantung saya berdebar nggak karuan. Bukan hanya karena tema acara
yang menarik minat saya, namun juga bertemu dengan blogger-blogger kece
se-Palembang bikin kayak reuni kecil-kecilan.
Venue Acara di Kuto Besak Theater Restaurant (Dok. Pribadi)
Setelah
mengisi daftar kehadiran di depan pintu masuk, saya pun melangkahkan kaki
memasuki ruangan acara. Di kanan dan kiri ruangan itu, sudah berdiri stan-stan
yang amat memanjakan mata. Saya pun bergegas menghampiri satu per satu stan
yang ada. Di sebelah kiri dekat dari pintu, ada stan Galeri Wong Kito. Stan ini
berisi produk-produk kain ecoprint
yang menggunakan bahan pewarna alami. Di sebelahnya ada produk-produk makanan
seperti keripik, beras, abon, dan bubuk minuman hangat yang berasal dari stan
Desa Makmur Peduli Api (DMPA) binaan APP Sinar Mas. Beranjak menuju sebelah
kanan, ada produk oleh-oleh bernuansa Palembang seperti pajangan kipas,
pajangan jembatan Ampera, gantungan kunci, dan rumah limas dari Mellin Galery
yang dibuat dari limbah kayu yang tidak terpakai! Kece bukan? Dan tepat di
tengah ruangan, kursi-kursi tersusun rapi. Setelah puas berkeliling, saya pun
mengambil tempat duduk bersama teman-teman lain. Pukul 09.00 pagi, para
narasumber siap di tempatnya masing-masing. Acara pun bergulir...
Suasana Saat Masuk Ke KBTR (Dok. Pribadi)
Para Pembicara Sudah Berada Di Tempat (Dok. Pribadi)
Pernah
nggak kalian merasa kalau akhir-akhir ini cuaca jadi sama sekali nggak menentu?
Kadang saat siang hari, keadaan sekitar panas terik. Berbanding terbalik saat
malam, hujan deras mengguyur tidak ingin berhenti. Atau pernah nggak berpikir
bahwa periode musim-musim yang ada sudah berubah. Bila saat sekolah dasar kita
diajarkan musim hujan terjadi saat Oktober hingga Maret dan musim kemarau saat
April hingga September namun kenyataannya saat ini musim-musim itu tak dapat
diprediksi. Ini membuktikan bahwa bumi kita sudah mulai berubah. Namun
kebanyakan orang-orang masih belum sadar.
Tahukah Kalian? (Dok. Pribadi)
Hal
itu tentunya adalah salah satu ciri dari perubahan iklim yang sedang terjadi.
Dr. Amanda Katili Niode selaku Manager Climate Reality Indonesia membuka
diskusi pagi ini dengan menyodorkan fakta-fakta perubahan iklim yang ada di
dunia. Beliau menuturkan bahwa ada 60 juta orang yang terdampak cuaca ekstrem
dari seluruh dunia. Sebut saja turunnya suhu dingin yang melanda Amerika hingga
-40o Celcius sementara di Australia, gelombang panas mengantarkan
suhu +50o Celcius. Keduanya membuat masyarakat sekitar sulit untuk
melakukan kegiatan sehari-hari secara normal.
Dr. Amanda Katili Niode Memberikan Paparannya (Dok. Pribadi)
Di
Indonesia sendiri, perubahan iklim yang ekstrem menyebabkan banyak bencana
hidromereorologi terjadi. Bencana yang diakibatkan parameter meteorologi
seperti curah hujan, temperatur, angin, maupun kelembaban membuat Indonesia
rentan akan bencana kekeringan, banjir, puting beliung, kebakaran hutan, hingga
gelombang panas dan gelombang dingin. Dari 2481 bencana yang terjadi di
Indonesia hingga akhir-akhir ini, kurang lebih 97% yang berasal dari
hidrometeriologi. Dampaknya ke 10 juta orang lebih yang menderita dan
mengungsi. Mengerikan, bukan?
Nah,
seperti kata pepatah, ada sebab ada akibat. Bencana-bencana itu terjadi juga karena
ada campur tangan kita, sebagai manusia. Kegiatan sehari-hari yang berlebihan
dan kadang tidak kita sadari turut andil dalam kerusakan lingkungan. Menyalakan
AC, berlebihan mengonsumsi daging, atau berkendara walau dengan jarak yang
dekat menyumbang emisi gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan pemanasan
global. Belum lagi industri-industri dalam jumlah besar seperti pertambangan,
pabrik, industri, hingga pembakaran hutan untuk membuka lahan semua adalah
aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
Kegiatan Manusia yang Merusak Lingkungan. (Dok. Materi Forest Talk)
Dan
bila ini terus berlanjut, dampaknya sudah tentu bencana yang semakin sering hingga
mengganggu hidup kita pula seperti berubahnya musim panen dan tingkat keberhasilannya
yang mengakibatkan jumlah pangan yang semakin lama semakin menipis, sumber air
bersih yang ada di dunia semakin sulit ditemukan, banyaknya penyakit-penyakit
yang timbul bahkan penyakit baru akibat rusaknya lingkungan, hingga bagi negara
kondisi politik dan sosial jadi rentan dan tidak stabil.
Dampak perubahan Iklim Global. Ngeri euy! (Dok. Materi Forest Talk)
Jadi,
apa yang bisa kita lakukan? Dr. Amanda menjelaskan ada dua upaya yang harus
kita lakukan segera yaitu upaya mitigasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri
diartikan sebagai upaya mengembangkan berbagai cara untuk melindungi manusia
dan ruang dengan mengurangi kerentanan terhadap dampak iklim yang ada. Sedangkan
mitigasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperlambat proses perubahan
iklim global dengan mengurangi gas-gas rumah kaca yang ada di atmosfer. Contoh
perilaku mitigasi yang dapat kita lakukan adalah: 1. Mengurangi
konsumsi daging dan memperbanyak konsumsi sayuran dan buah 2. Mengurangi
penggunaan plastik dalam kegiatan sehari-hari 3. Menggunakan
alat transportasi massal untuk mengurangi emisi gas kendaraan 4. Menyalakan
AC seperlunya saja 5. Mengusung
konsep recycle dalam memperlakukan
sampah 6. Beralih
ke barang-barang yang eco-friendly
Nah
dengan data dan fakta yang seperti itu, kita tahu bahwa perubahan iklim nyata
adanya. Bukan hanya bualan semata. Dan solusinya pun telah diberikan. Pertanyaannya
adalah, apakah semua ini bisa kita lakukan? Jawabannya tentu saja bisa! Yang
penting adalah komitmen dari dalam diri kita. Seperti Pulau Sumba yang
menargetkan tahun 2025 menggunakan 100% energi terbarukan atau kondisi Pulau
Bali saat perayaan nyepi, penggunaan segala bentuk produk yang dapat merusak
lingkungan dapat kita minimalkan. Sekarang pertanyaannya bukan lagi bisa atau
tidak, melainkan mau atau tidak.
Karena
gawat! Bumi sekarat! Kita harus merawat!
Video Dr. Amanda Katili Niode Memberikan Paparan (Dok. Pribadi)
Sebagian
dari kalian mungkin pernah tahu ungkapan bahwa Indonesia adalah paru-paru
dunia. Dengan hutan terluas kedua di dunia dapat dibilang Indonesia adalah penyumbang gas kehidupan yang ada di seluruh
dunia. Namun apa jadinya jika hutan tersebut semakin lama semakin berkurang
bahkan cenderung hilang? Masih bisakah kita bertahan? Terus bila kita ingin
menjaga hutan, apakah kita tidak boleh mengolahnya?
Bahasan
mengenai hutan dan segala macam pengelolaannya disampaikan oleh Dr. Atiek
Widyawati dari Tropenbos Indonesia. Sebelum membahas panjang lebar mengenai
segala macam istilah yang menggantung dari hutan, Beliau memberitahukan
definisi hutan terlebih dahulu agar semua yang hadir memiliki presepsi yang
sama definisi hutan itu seperti apa. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) 2018, hutan adalah wilayah dengan pohon dewasa yang ukurannya
lebih tinggi dari 5 meter tutupan kanopi lebih besar 30% dengan luasan lebih
dari 6.25 Ha. Berbicara tentang hutan tentu kita juga harus memperhatikan
bentang alamnya termasuk manusia, hewan dan kondisi yang ada di sekitarnya.
Berbicara Hutan Juga Berbicara Lansekap Di Sekitarnya. (Dok. Materi Forest Talk)
Berbicara
tentang hutan di Indonesia, saat ini sudah banyak sekali berubah. Deforestasi,
degradasi, bahkan konversi hutan menjamur tanpa bisa dicegah. Deforestasi
merupakan perubahan wajah hutan yang dari areal berhutan menjadi tidak berhutan
sama sekali. Biasanya deforestasi terjadi akibat ulah manusia yang menebang
pohon tanpa memperhatikan lingkungan. Sementara degradasi adalah penurunan
kualitas hutan. Hal ini dapat disebabkan karena adanya tutupan, biomassa, atau
aspek lainnya. Dan terakhir konversi adalah alih fungsi/status hutan yang
digunakan untuk berbagai kepentingan. Dalam skala besar, konversi dilakukan
dengan pembalakan lahan menjadi hutan tanaman seperti sawit. Skala kecil
mencatat perlakuan masyarakat yang memiliki kebiasaan lahan berpindah dengan
cara menebang pohon untuk perkebunan. Nah, dengan perubahan-perubahan itu,
hutan yang rentan dirusak dapat menimbulkan banyak bencana seperti kabut asap,
banjir bandang, hingga penyerapan gas racun CO2 yang menurun. Yang
kena imbasnya tentu manusia!
Dr. Atiek Widyawati Menjelaskan Dampak Hutan yang Semakin Lama Menghilang. (Dok. Pribadi)
Ibarat
sebuah penyakit, sebelum bertambah parah kita harus segera mengobatinya.
Mengembalikan fungsi hutan sebagaimana mestinya mutlak diperlukan. Dr. Atiek
mengungkapkan konsep pengelolaan hutan dan lanskap yang berkelanjutan menjadi
salah satu upaya. Restorasi dan rehabilitasi lahan akibat pembalakan liar dapat
menjadi langkah awal untuk pemanfaatan menjadi perkebunan. Selain itu, kita
sebagai masyarakat pun dapat ikut berkontribusi seperti: 1. Mendukung
pelestarian hutan dengan berhenti melakukan buka tutup lahan dengan membakar
atau menebang pohon sembarang 2. Mendukung
hasil hutan non kayu seperti madu, minyak atsiri, rotan, dll 3. Memanfaatkan
jasa ekosistem hutan seperti pemandian air panas, air minum dari sumber mata
air pegunungan, ekowisata, dll 4. Mendukung
produk-produk masyarakat tepi hutan seperti kerajinan rotan atau pelepah 5. Mendukung
produksi kayu yang berkelanjutan namun tetap sesuai dengan lingkungan
Kita
sebagai masyarakat sudah seharusnya ikut membantu dan berkontribusi nyata dalam
upaya pengembalian fungsi hutan seperti sediakala. Karena, hutan adalah tameng
terakhir kita untuk hidup di bumi. Jika hutan menghilang, maka kita pun lama
kelamaan ikut menghilang. Dengan lestarinya hutan kita, maka hidup kita juga
terjaga.
Video Dr. Atiek Memberikan Pemaparannya Tentang Konsep Hutan (Dok. Pribadi)
Apa
kita sama sekali nggak boleh memanfaatkan hutan? Pertanyaan itu pasti mampir di
kepala kalian ketika membaca dua penjelasan narasumber di atas. Jawabannya
tentu tidak. Kita dapat memanfaatkan hutan namun tetap tanpa merusaknya.
Seperti yang saya ceritakan di awal, Mama dalam hal ini bertugas untuk
mengawasi kawasan hutan-hutan yang memang ditujukan sebagai hutan industri.
Namun, apakah hanya kayu hutan yang dapat dimanfaatkan? Menurutmu?
Dr. Murni Titi Resdiana, MBA Memberikan Pemaparan tentang HHBK (Dok. Pribadi)
Pernahkah
kalian dengar istilah HHBK atau Hasil Hutan Bukan Kayu? Tahukah kalian jika hutan kita bukan hanya menghasilkan kayu sebagai produk utama melainkan
banyak produk lain yang ada dan berguna. Nah, Dr. Murni Titi Resdiana, MBA selaku Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim memaparkan potensi dari sebuah pohon yang ada di hutan untuk pengembangan ekonomi
kreatif masyarakat. Dalam menanam sebuah pohon, kita harus tahu terlebih dahulu
tujuan kita menanam pohon tersebut. Sebut saja seperti: 1. Pohon
sebagai sumber serat seperti serat bambu, serat pelepah pisang, serat
Eucaliptus, dll 2. Pohon
sebagai pewarna alam seperti daun jati, kulit secang, indigofera, akar
mengkudu, dll 3. Pohon
sebagai bahan kuliner seperti daun jati, kelapa, nipah, indigofera, kulit secang.
dll 4. Pohon
sebagai sumber furniture seperti rotan, kelapa, dll 5. Pohon
sebagai barang dekorasi seperti lontar, rotan, daun nipah, dll 6. Pohon
sebagai sumber minyak atsiri seperti kayu putih, cengkeh, cendana, merica, dll 7. Pohon
sebagai energi terbarukan seperti nipah, kaliandra merah, dll
Contoh Pemanfaatan Pohon Sebagai Banyak Produk (Dok. Materi Forest Talk)
Konsep pemanfaatan hutan ini amat sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) yang dicanangkan oleh pemerintah lewat Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017. Nah, untuk mencapai TPB tersebut kita dapat mengandalkan budaya seni Indonesia namun tetap berasal dari pohon seperti kain tenun, celup ikat, dan batik. Juga dengan anyaman yang banyak kita temui baik tikar, topi maupun tas. Dengan budaya seni yang dimanfaatkan untuk TPB ini, masyarakat dapat diberdayakan hingga menghasilkan nilai ekonomi bagi mereka sendiri. Bagi desanya pun, produk hasil jadi dapat menjadi produk unggulan desa sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Di
Palembang sendiri, ada sebuah kain tradisional bernama Jumputan yang
menggunakan banyak pewarna ketika membuatnya. Proses mengikat kain kemudian
mencelupkannya ke pewarna berulang kali agar mendapatkan motif mungkin dapat
memanfaatkan pewarna alami dari alam sehingga bisa menambah nilai ekonomi
sekaligus ramah lingkungan.
Jumputan, Kain Tradisional Palembang Menggunakan Pewarna (Dok. Pribadi)
Dengan
makin banyaknya manfaat pohon bagi kehidupan masyarakat, sudah seharusnya kita
juga berperan aktif untuk mewujudkan ekonomi kreatif yang tidak merusak
lingkungan. Karena kalau bukan kita, siapa lagi, kan?
Video Pemaparan Dr. Murni Titi Resdiana, MBA tentang Hutan dan Ekonomi Kreatif. (Dok. Pribadi)
APP
Sinar Mas adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan kertas dan
tisu. Di Sumatera Selatan sendiri, APP Sinar Mas terletak di Sungai Baung, Ogan
Komering Ilir. Nah, sebagai perusahaan yang tidak jauh dari kayu dan hutan, APP
Sinar Mas memiliki CSR berupa Desa Makmur Peduli Api. Desa Makmur Peduli Api (DMPA)
bukanlah hal baru yang saya dengar. Sejujurnya, saya sudah dua kali meliput
tentang bahasan ini dalam beberapa kesempatan ke belakang. Terakhir, saya beserta
beberapa blogger Palembang terjun langsung menuju Jalur 29, tempat salah satu
DMPA binaan APP Sinar Mas berada.
Mencoba Air Hasil dari DMPA APP Sinar MAs di Jalur 29. (Dok. Pribadi)
Pak
Janudianto, Head of Social Impact &
Community Development APP Sinar Mas menuturkan bahwa perubahan iklim juga
merupakan isu penting bagi perusahaan ini. APP Sinar Mas berkomitmen untuk
berkontribusi langsung untuk menangani perubahan iklim global. Pada tanggal 5
Februari 2013, APP Sinar Mas mengumumkan peraturan konservasi hutan yang
meliputi perlindungan terhadap hutan alami, manajemen lahan gambut, komitmen
sosial, dan rantai suplai global. Nah, DMPA termasuk dalam peraturan yang
ketiga.
Pak Janudianto Menjelaskan Komitmn APP Sinar MAs terhadap Lingkungan. (Dok. Pribadi)
Per
2018, ada 284 desa yang menerima manfaat dari program ini. Dana yang
digelontorkan dikelolah oleh bumdes setempat, koperasi, bahkan gapoktan. Bentuk
pengelolaannya pun berbeda tergantung jenis kebutuhan di masing-masing desa. Selain
memberi bantuan, DMPA juga membina masyarakat agar menjadi garda terdepan dalam
menangani kebakaran hutan. Dengan DMPA, masyarakat diberikan edukasi agar tidak
kembali membakar lahan untuk pertanian dan perkebunan namun memaksimalkan lahan
yang ada agar lebih produktif.
Program Permberdayaan DMPA APP Sinar Mas. (Dok. Materi Forest Talk)
DMPA
hingga saat ini mampu memberikan dampak yang positif. Sekitar 68% dari desa
penerima target memiliki pendapatan yang meningkat. Kejadian pembakaran lahan
pun minim. Produk yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi bervariasi. Dan yang
jelas, dengan DMPA, lingkungan menjadi lebih lestari.
Video Bapak Janudianto dari APP Sinar Mas Menjelaskan tentang DMPA. (Dok. Pribadi)
Setelah
mendengarkan paparan dari keempat narasumber yang ada, para blogger akhirnya
diberikan kesempatan untuk mengenal secara langsung bagaimana bahan-bahan yang
didapatkan dari alam dapat dijadikan produk kreatif yang bernilai jual tinggi.
Yang pertama tentu dari Galeri Wong Kito. Galeri ini fokus kepada produk
tekstil yaitu kain yang pewarnaannya berasal dari alam! Keren! Founder dari
Galeri Wong Kito lalu menjelaskan mengenai kain ecoprint—sebuah kain yang menggunakan daun-daunan sebagai motifnya.
Kali ini, kami diajak untuk langsung membuat kain ini dengan motif daun jati.
Cara membuatnya bisa dibilang susah-susah gampang. Daun direndam terlebih
dahulu di cairan tawas sebelum digunakan. Setelah itu barulah ditaruh di atas
kain kemudian membentuk pola. Ambil sejenis palu dari kayu kemudian pukul-pukul
di bagian daun dengan pelan mulai dari bagian tulang, sisi terluar, kemudian
masuk ke dalam. Setelah dirasa cukup, lepaskan daun yang menempel dan voila... kain telah tercetak! Beliau
menjelaskan bahwa pewarnaan alami ini sengaja dipilih sebab lebih ramah
lingkungan lalu target yang ingin dicapai adalah pangsa luar negeri. Hebat euy!
Kain Eco-Print yang Dibuat Blogger Palembang. (Dok. Pribadi)
Pengaplikasian Warna Alami Dapat Digunakan Di Berbagai Kain. Blogger Palembang Menunjukkannya. (Dok. Pribadi)
Video Penjelasan Galeri Wong Kito tentang Eco-Print dan Proses Workshop oleh Blogger Palembang. (Dok. Pribadi)
Kedua
ada Mellin Galery yang memanfaatkan kayu limbah untuk dipakai sebagai pajangan
khas Palembang. Sang pemilik bilang bahwa pemanfaatan limbah kayu masih minim
dan melihat peluang itu, ia berpikir untuk memanfaatkannya menjadi barang yang
lebih bernilai. Saya pun terkagum-kagum melihat hasilnya. Jembatan Ampera yang
ia replika sedemikian rupa tampak kokoh dan bagus dipandang. Jika Beliau nggak
bilang ini dari limbah kayu, mungkin saya sama sekali nggak percaya! Iya,
sekeren itu!
Mellin Galery yang Fokus Pada Pajagan Khas Palembang. (Dok. Pribadi)
Video Penjelasan Mellin Galery tentang Bahan Baku Limba Kayu yang Digunakan. (Dok. Pribadi)
Selanjutnya
ada produk-produk dari Desa Makmur Peduli Api. Keripik-keripik, beras, dan
produk lain terpajang apik di meja.
Stand DMPA dengan Berbagai Produk. (Dok. Pribadi)
Suasana Stan DMPA yang Menawarkan Hasil Olahannya. (Dok. Pribadi)
Dan
terakhir adalah sesi yang paling ditunggu teman-teman: demo masak! Kami pun
dibawa ke samping KBTR. Di sana sudah ada chef
Taufiq dari 40 Avenue Restaurant yang sudah menunggu. Kami pun langsung
bergerombol mengelilingi tempat memasak. Kali ini ada dua menu yang dimasak
oleh chef Taufiq: Mushroom Paradise
dan Korean Spicy Chicken Wings. Keduanya dipilih bukan tanpa alasan. Chef Taufiq bilang bahwa hasil-hasil
pertanian, peternakan, dan hutan kita sama sekali tidak kalah dengan negara
lainnya. Jika kita mampu mengolah sumber pangan lokal menjadi lebih berkelas,
tentu itu akan menambah nilai ekonomisnya.
Chef Taufiq yang Akan Demo Masak Hari Ini. (Dok. Pribadi)
Nah,
jamur-jamur yang digunakan untuk memasak Mushroom Paradise merupakan jamur
lokal yang mudah didapat di pasar-pasar terdekat. Sedangkan pada Korean Spicy
Chicken Wings, ada madu yang ditambah sebagai pemberi rasa manis yang bikin
ketagihan di sausnya. Dan nggak perlu panjang lebar, chef Taufiq pun mulai memasak. Dengan cekatan, ia memasukkan
jamur-jamur untuk di deep fried. Setelah
berwarna kecokelatan, ia lalu meniriskan minyak kemudian dimasukkan ke dalam
wadah yang berbentuk troli. Saus keju pun disajikan sebagai pelengkap dan Mushroom
Paradise pun siap disantap.
Mushroom Paradise yang Menggugah Selera. (Dok. Pribadi)
Perlakuan yang sama juga dilakukan pada sayap ayam.
Beliau melumurinya dengan tepung lalu menggorengnya dengan minyak panas.
Setelahnya, ia meniriskan kemudian mulai membuat bubu. Bahan-bahan dimasukkan
hingga menghasilkan warna merah yang menggugah selera. Ayam yang tela digoreng
kemudian dimasukkan ke dalam saus untuk diselimuti. Setelah merata lalu
diangkat dan diberi taburan wijen dan pemanis. Korean Spicy Chicken Wings yang
enaknya kebangetan pun siap dibabat.
Korean Spicy Chicken Wings yang Bikin Ngiler. (Dok. Pribadi)
Video Cooking Class Bersama Chef Taufiq. (Dok. Pribadi)
Acara
pun dilanjutkan dengan pemberian hadiah kepada pemenang lomba instagram dan
twitter. Setelahnya yang nggak boleh terlewatkan adalah berfoto bersama.
Pemenang Lomba IG. (Dok. Forest Talk)
Pemenang Lomba Twitter. (Dok. Pribadi)
Acara
ini adalah acara yang membangkitkan memori saya terhadap percakapan-percakapan
kecil saya dengan Mama tentang hutan. Bila dulu saya hanya bertanya iseng,
namun sekarang semuanya ternyata berubah. Dengan iklim yang tidak menentu akibat
kegiatan manusia yang berlebihan, sudah saatnya kita bertindak. Mungkin kita
merasa belum ada dampak langsung yang kita rasakan, akan tetapi percayalah...
ini adalah nyata. Sebagai manusia sudah saatnya kita menyelamatkan lingkungan
dan hutan kita apapun caranya. Sebab, hutan lestari adalah kunci untuk masa
depan kita semua. Bila ini terus terjaga, bukan tidak mungkin bumi kembali
berubah. Menjadi lebih baik tentunya. Semoga.
Berfoto Bersama Setelah Acara Selesai (Dok. Forest Talk)