¯When I feel has come and gone before / No need totalk it out / we know what it’s all about ¯
Rainy Days and Mondays – The Carpenters
“Mungkin karena tiap
orang punya batasan tentang kebahagiaan sendiri-sendiri?”[1]
Kami saling melempar
pertanyaan secara bergantian. Sedari tadi, kami masih tetap bertahan pada
keadaan yang sama: duduk berdua di beranda sebuah restoran cepat saji yang
masih sepi. Bulir-bulir hujan sebesar biji jagung turun menghunjam atap seng,
membuat suasana bising yang mengisi suasana diam pada percakapan di antara
kami.
“Apa batasanmu untuk
bahagia?”
“Kamu bertanya dengan
pertanyaan yang sebening kaca,” jawabku. Aku mengambil cangkir kopiku, lalu
menyeruputnya. Rasa pahit itu lumer di lidah, tapi aku terlalu tak peduli
mengenai itu. Ada rasa sesak yang memenuhi rongga dada, yang segera ingin
melesak keluar.
Setelah meletakkan
kembali cangkir, aku melanjutkan, “Tidakkah semuanya sudah jelas? Untuk apa
kamu menanyakan hal yang kamu sudah pasti tahu jawabannya?”
Kulihat, ujung-ujung
bibirnya mulai terangkat. Ia tersenyum kecil.
“Kalau kamu?” aku balik
bertanya.
Tidak ada jawaban. Ia
hanya mengalihkan pandangannya ke arah jendela di samping kami, memandangi
hujan yang sedang menirai.
“Ah, iya. Hujan.” Tanpa
dikomando, kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Ia menoleh ke arahku.
Senyumannya melebar.
“Kamu sangat suka
hujan,” lanjutku sambil balas tersenyum. Tapi, seperti rasa kopi itu,
senyumanku pahit, amat pahit. “Kamu sangat bahagia jika hujan sedang turun,”
desahku.
Ia tertawa. “Kamu sudah
sangat mengenalku,” komentarnya singkat. “Menurutmu, bahagia itu seperti apa?”
Aku menatap lekat
matanya, mencari definisi bahagia yang menjadi pertanyaannya. Semakin lama, matanya
semakin lekat. Pekat. Ada lubang hitam di sana dengan aku yang menjadi
sumbernya.
Dalam satu tarikan
napas, aku berujar pelan. “Melepaskan.”
Hanya satu kata itu.
Akan tetapi, beribu kenangan ikut di dalamnya. Seluruh rasa bercampur aduk
mengikutinya.
Hanya satu kata itu.
*
Kami bertemu di sini.
Lima tahun lalu.
Saat itu, hujan sedang
turun deras-derasnya. Dan aku memutuskan untuk masuk sembari menunggu hujan
untuk berhenti. Kala itu, aku melihatnya. Seorang gadis dengan mata yang tak
berhenti menghadap jendela. Entah ada daya magis apa –selain semua bangku yang
ada di restoran itu telah terisi penuh—aku memutuskan untuk menghampirinya.
“Boleh aku duduk di
sini?”
Ia hanya menoleh
sekilas, lalu mengangguk. Refleks, aku ikut tersenyum.
“Apa yang sedang kamu
lakukan?” tanyaku setelah melempar tubuhku untuk duduk.
“Memandangi hujan,”
jawabnya pendek dengan nada yang amat lembut.
Aku mengangkat satu
alisku. “Berharap hujan cepat reda?”
Ia menggeleng. “Aku
hanya suka memandanginya.”
“Pluviophile.”
Kini, ia kembali
menoleh ke arahku sambil memiringkan sedikit kepalanya. Air mukanya menyiratkan
rasa penasaran.
“Apa itu?” tanyanya.
Dahinya mengernyit.
“Sebutan untuk pecinta
hujan,” jawabku cepat. “Seseorang yang menemui kebahagiaan dan kesenangan
ketika hujan turun.”
Ia menyunggingkan
senyumnya. “Kamu suka hujan?”
Aku menggeleng. Aku
tidak pernah menyukainya. Aku tidak suka basah. Aku tidak suka macet. Aku tidak
suka semua waktu yang terbuang jika hujan datang.
“Kamu kenapa suka
hujan?”
“Apa perlu alasan untuk
menyukai sesuatu?” ia balik bertanya kepadaku.
Aku tak menjawab. Dari
tempatku duduk, aku bisa melihat jelas wajahnya. Pucat, namun bersih. Mata yang
indah dengan alis hitam di atasnya. Bibirnya mungil, sangat pas dengan ukuran
kepalanya yang juga kecil. Aku tertegun.
¯
We'll walk out in the rain / Hear the
bird's above sing once again / You'll hold me in your arms / And say once
again, you love me ¯
Alunan musik A Lover’s Concerto dari Sarah Vaughan mengalun lembut memenuhi seisi ruangan,
bergabung dengan bisingnya suara di ruangan ini. Namun, kata-katanya terus
bergema di telingaku.
Dan perlahan namun
pasti, aku... jatuh.
*
Kala itu, kami duduk
berdua menatap langit yang mendung. Angin khas saat akan terjadi hujan sudah
berembus sedari tadi, namun, kami tak ada tanda-tanda untuk beranjak. Tapi,
sejujurnya yang terjadi, aku sudah berulang kali memintanya untuk ikut pergi,
namun, ia bertahan hingga akhirnya aku menyerah. Kami berdua duduk dalam diam setelahnya.
“Kamu sudah kasih tahu
orang tuamu tentang kita?” aku membuka percakapan di antara kami.
“Tak ada yang perlu aku
bicarakan dengan mereka.”
Aku melipat tanganku,
berusaha mengusir rasa dingin yang hinggap pelan-pelan di kulit tubuhku.
“Mau sampai kapan?”
Ia menoleh ke arahku.
“Ini sudah tahun ketiga
kita bersama. Apa kamu masih ingin terus bersikap seperti ini?” tanyaku dingin.
Tak ada suara yang
terdengar. Hening. Sepi. Sunyi.
Aku menghela napas
dalam lalu mengembuskannya. Berat. “Aku tidak tahu ini bisa bertahan sampai
kapan,” kataku lagi. Kali ini dengan nada putus asa.
“Tak ada yang memintamu
untuk tetap tinggal,” ia membuka suaranya.
“Aku tahu. Tapi...”
Hujan langsung turun
dengan deras. Mulutku kembali menutup seiring melihat ia tersenyum menatap
butir-butir air yang jatuh itu. Tanpa
sadar, aku pun ikut tersenyum.
Tapi,
selama aku masih bisa bahagia denganmu, tidak apa-apa.
*
Sudah sejak tadi, kami
terdiam lama sekali. Sejak ia bertanya tentang arti bahagia. Sejak satu kata
itu keluar dari bibirku. Hujan masih saja turun dengan deras, malah semakin
tinggi intensitasnya.
“Aku tidak tahu apa
yang salah,” kataku memulai kembali percakapan. “Seperti katamu, batasan
mengenai bahagia itu sudah pudar. Setidaknya untukku.”
Ia tidak menjawab.
“Sejujurnya, aku
cemburu pada hujanmu itu,” kataku akhirnya. Mari
keluarkan saja, ucapku dalam hati. “Aku cemburu bagaimana hujan bisa dengan
nyata menjadi hal yang kamu suka.”
“Aku tahu,” ujarnya
pelan. Nyaris tak terdengar.
“Aku cemburu bagaimana
ia bisa dekat denganmu, mengisi ruang tersendiri di hatimu, dan kamu tidak
perlu sembunyi-sembunyi untuk bersamanya.”
Dadaku naik turun.
Semua hal yang kutahan selama lima tahun itu lebur. Lumer.
“Dan hal yang paling
membuatku cemburu, hujanmu itu sungguh tak tertebak. Seperti tak ada akhirnya.
Sepanjang hari. Sepanjang tahun. Sementara kita,” aku mengambil jeda untuk
bernapas, “kita berdua sudah tahu pasti hubungan kita akan seperti apa.”
Ia
tak berusaha untuk melempar kata-kata.
“Dari
awal kita sudah berbeda. Keyakinan kita berbeda. Dan dari kita berdua, tidak
ada yang ingin mengalah. Seperti kata kamu, ‘Keyakinan itu adalah proses diri
sendiri sama Tuhan. Lebih tinggi hakikatnya dari cinta sesama manusia. Dan kita
nggak harus berkorban demi itu, kan?’. Aku masih pegang kata-kata kamu,”
jelasku panjang lebar. “Hal itu yang buat kita nggak bergerak ke mana-mana. Stack. Jalan di tempat. Kamu tidak mau bilang
sama orang tuamu. Pun aku.”
Aku
berusaha menurunkan gemuruh di hatiku. Mataku menatap kembali matanya. Ada
bening-bening yang tertahan. Mendadak, aku menyesal, tapi kata-kata itu sudah
terlanjur keluar.
Untuk
sekian lama, ia kembali berkata, “Aku tahu, “ucapnya pendek. “Seperti kamu, aku
sudah sangat mengenalmu,” lanjutnya.
Kata-kataku
hilang. Kulihat tangannya saling menelusuri dengan cepat.
“Sudah
seharusnya kita menyerah saja,” katanya lagi.
Kali
ini ia tersenyum. “Untuk apa membaca sebuah kisah yang kamu sudah tahu pasti
akhirnya itu seperti apa,” ia melanjutkan. “Untuk apa menjalani sebuah hubungan
kalau kita sendiri sudah melihat bahwa akhirnya kita tidak akan bersama.”
Aku
menelan ludah. Selama ini ternyata ia tahu. Ternyata ia juga merasakannya. Dan
di tempat ini, kejujuran itu memecah.
“Kamu
adalah hujannya, sedangkan aku teduh. Bersama, kita tidak bisa saling menyatu.”
Kata-kata
itu terngiang. Tanpa kusadari, hujan sudah reda di luar. Kini, hujan itu
menjelma dari butiran bening yang jatuh dari matanya.
“A—aku
minta maaf karena butuh waktu lama,” ucapku lalu mengambil tangannya,
menggenggamnya sangat erat seolah tahu bahwa itu adalah kali terakhir aku bisa
melakukannya.
Ia
menyeka air matanya lalu kembali tersenyum. “Aku yang harus berterima kasih.”
Alisku
terangkat. “Untuk apa?”
“Kejujuran.”
Mendengarnya,
aku kembali mengangkat ujung bibirku. Pandangan kami teralih ke luar jendela
restoran ini. Ada berkas sinar warna-warni yang terlukis di sana.
“Pelangi,”
ucapku.
Seperti pelangi yang
ada sehabis turun hujan, aku harap, semoga setelah ini, kita akan menemui akhir
yang indah, ucapku dalam hati.
Berkali-kali.
Tidak ada komentar
Posting Komentar