Gambar diambil dari sini |
*
Aku
pernah menyukai seseorang. Tapi aku berbohong padanya.
Aku
tidak tahu kapan persisnya atau alasan apa aku mulai menyukainya. Yang kutahu,
ia masuk begitu saja ke dalam kehidupanku, membuatku nyaman di dekatnya tanpa
peduli apa pandangan orang.
Pertemuan
kami sederhana, suatu pagi aku terlambat datang ke sekolah karena Rika-chan,
pacarku, tidak membangunkanku. Saat itu, ada satu orang yang ikut terlambat.
Kami berdua sama-sama menaiki kereta yang sama. Saat itu, musim dingin dan aku
sudah pasrah akan dihukum apa saja oleh Genta-sensei. Tapi kemudian, anak itu
dengan lantang bersuara, “Ada salju yang menumpuk.”
Melihatnya,
aku hanya bisa tertegun. Genta-sensei menoleh ke arahku. “Apa benar
Tomohiro-san?”
Anak
itu langsung menoleh ke arahku serius. Bola matanya yang cokelat menatapku
serius.
“H—hai!”
Genta-sensei
berdeham. “Baiklah kalau begitu, kalian boleh masuk.”
Dengan
cepat, aku melangkahkan kaki, menjauh dari pandangan Genta-sensei. Anak itu
mengekor di belakangku. Setelah cukup jauh, aku membalikkan badan.
“Arigatou...”
Ia
melangkah ke arah belakang sedikit karena terkejut lalu tersenyum ke arahku.
“Bisa
aku meminta alamat surelmu?” Ia bertanya sembari menyerahkan ponselnya.
Eh?
Aku
mengambilnya cepat lalu mengetik. Jam pertama ketika itu hampir usai saat aku
menyerahkan kembali ponselnya.
Setelah
ia mengambil ponselnya, tanpa mengucap apa-apa lagi, ia berlari pergi.
Dan
mendadak hidupku berubah setelah ini.
*
“Gaku!”
Aku
menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Rei sedang berdiri di sana sambil
melambaikan tangan. Aku balas melambai.
“Yo!”
Rei
berlari ke arahku. “Masih banyak yang harus kau lakukan?”
Aku
menaikkan bola mata, mencoba berpikir. Setelah meyakini tak ada yang perlu
kulakukan, aku menggeleng. Hari ini adalah hari festival sekolah. Aku dan Rei—anak
yang bersamaku saat telat dulu ditugaskan untuk menjadi penyelenggara acara.
Mengerjakan banyak persiapan festival membuat kami menjadi dekat, bahkan menghabiskan
banyak waktu bersama.
“Kalau
begitu, kau harus istirahat dulu. Semua orang sedang membuat api unggun. Paling
tidak, kau harus tidur sebentar. Bukankah masih ada acara sampai jam dua?”
“Tapi,
aku tidak bisa pergi begitu saja...”
“Biar
aku yang mengurusnya,” potong Rei cepat. “Kau istirahatlah dulu di ruang atas.
Oh, ya, aku pinjam ponselmu sebentar. Baterai ponselku habis. Aku mau
menghubungi rumah.”
Ada
rasa geli yang menggelitik di perutku. “Baiklah, aku akan tidur sebentar,”
ujarku menyerah lalu menyerahkan ponselku.
“Nanti
kususul di atas, sekalian mengembalikan ponselku. Oke?”
“Oke.”
*
Aku
menyadarinya. Aku mengetahui apa yang Rei lakukan padaku. Kau kira aku tidak
bisa merasakan saat sebuah sentuhan lembut tiba-tiba saja mampir di bibirku?
Saat itu, aku lebih memilih untuk diam saja. Kuputuskan untuk menikmati saja
momen itu dengan menutup mata rapat-rapat.
Namun,
tanpa kusadari, jantungku ikut berdegup cepat.
*
Aku
sedang berada di atap sekolah ketika Rika-chan memanggilku. Raut mukanya tampak
kesal. Mungkin marah. Matanya yang sipit itu tampak melebar. Dengan langkah
besar dan tangan terlentang, aku menghampirinya.
“Rika-chan...”
Baru
saja aku hendak memeluknya, ia menepis.
“Ada
yang ingin aku bicarakkan, Gaku-kun...”
Aku
mengerutkan kening. Tak kusangka Rika-chan bisa memiliki tone bicara yang serius dan berat seperti ini. Gadis itu lalu
berjalan tanpa menoleh lagi ke sudut atap. Aku mengikutinya dari belakang.
“Ada
apa Rika-chan?”
“Aku
ingin kita putus.”
Nada
suaranya tidak ia buat main-main. Aku menggaruk-garuk kepalaku pening.
“Kenapa?”
“Kau
tahu jawabannya.”
Aku
mengerutkan kening tidak mengerti.
“Aku
melihat Rei menciummu.”
Deg.
“A—apa?
Ka—kapan? Maksudmu? A—Aku sama sekali tidak mengerti.”
Rika-chan
mengulas senyum tipis. “Aku juga melihatmu membuka mata saat ia menciummu. Kau
tidak benar-benar tertidur, bukan?”
Aku
mematung. Tak ada lagi yang bisa kukatakan untuk membantahnya.
“Kau
juga menyukainya, Gakku-kun?”
Ingin
sekali kubilang bahwa satu-satunya orang yang kucintai adalah Rika-chan. Namun,
entah mengapa, bibirku kelu untuk mengatakannya. Sebagai jawabannya, aku hanya
memberinya diam.
Kulihat
ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Naik-turun selama beberapa saat sebelum
akhirnya berkata, “Aku mengerti sekarang.”
“Ta—Tapi
Rika-chan...”
“Aku
tak akan berkata apa-apa pada siapa pun. Karena bagaimana pun, kau masih jadi
orang yang kusuka. Aku tidak akan mempertahankanmu karena aku tidak suka menjadi
rubah di antara kalian,” ucapnya lagi. “Sebagai gantinya, kau harus bahagia.”
Aku
menunduk. Ada rasa nyeri yang teramat sakit di ulu hati. Tanpa kusadari,
Rika-chan memelukku lalu mengecup pipi kananku. Beberapa saat kemudian, ia
melepaskannya kemudian pergi meninggalkanku.
Di
tempatku, aku berusaha mencerna semuanya. Otakku berputar liar, menimbulkan
gambaran dua orang: Rika-chan dan Rei. Bergantian hingga akhirnya ia berhenti
di satu orang.
*
“Aku
putus dengan Rika-chan,” ucapku pada Rei ketika ia menginap di rumahku. Saat
itu hari telah malam dan hanya ada kami berdua di kamar.
Rei
tampak terkejut mendengarnya. “Kau putus? Kenapa?”
Aku
menghela napas. Sejujurnya, aku ingin mengatakan bahwa ialah alasan Rika-chan
memutuskanku. Tapi, aku tidak ingin membuat keadaan sekarang menjadi lebih
canggung.
“Aku
tidak mengerti. Ia memutuskanku begitu saja.”
Ada
jeda panjang di antara kami berdua sebelum akhirnya ia bersuara, “Kau tidak
apa-apa, Gaku?”
“Tentang
apa?”
“Putus.”
Aku
ber-ooh panjang. “Tidak apa-apa. Malah aku sekarang jadi sadar...”
Rei
memiringkan kepalanya. “Sadar apa?”
Aku
menarik ujung-ujung bibirku.
“Gaku...
kau tahu ‘yubikiri’?”
Aku
mengangguk.
“Kau
spesial bagiku. Jadi berjanjilah jangan pernah mengkhianatiku. Aku pun akan berjanji
hal yang sama kepadamu.”
Ada
binar mata aneh yang tersirat dari mata Rei. Namun buru-buru kutepis.
“Apa-apaan
ini, Rei?”
“Aku
hanya ingin memintamu berjanji. Jadi...” Kalimat itu sengaja dibuatnya
menggantung.
“Apa?”
“Jadi...”
ulangnya lagi.
Aku
memutar bola mata. “Terserah apa katamu.”
Ia
tampak tersenyum lebar. Aku memandanginya lama. Lama sekali sehingga aku pun
ikut tersenyum kecil.
Di
benakku, sebuah permainan terlintas. Playing
hard to get.
...and it’s
showtime!
*
Rei
mengajakku untuk bertemu di taman belakang sepulang sekolah dan aku mengiakan
saja. Tapi, setelah kalimat pertama yang ia ucapkan padaku barusan, aku
buru-buru menyesali.
“Aku
mencintaimu Gaku. Maukah kau menjadi pacarku?”
Ungkapan
cinta. Sejujurnya aku sudah sering menerima pernyataan cinta seperti ini. Tetapi,
baru kali ini ada yang bisa membuat jantungku berdebar begitu kencang dan
kupu-kupu di perutku terbang riang.
Aku
ingin merasakan ini lebih lama.
“Aku...
tidak mungkin bisa menerima pernyataan cintamu...”
Aku
merasakan ada panas yang menjalar di telingaku—tanda vital jika aku berbohong.
Muka
Rei menegang. “Kenapa tidak Gaku? Aku tidak mengerti!”
Lama.
Lebih lama lagi.
“Kenapa
kau harus bertanya? Tentu saja hal itu tidak mungkin... Kita hanya berteman... Kita
bersahabat.”
Adrenalinku
hampir mencapai puncaknya. Kupu-kupu yang terbang hampir penuh di sana.
Lama.
Lebih lama lagi.
"Aku
tidak bisa menerima alasan seperti itu Gaku. Kalau kau tidak menyukaiku,
mengapa sikapmu begitu baik padaku? Mengapa kau tidak menolak saat aku mengajak
tidur bersama?”
Aha!
Permainan ini semakin menarik saja. Aku terkikik di dalam hati. Kutahan
tertawaku senatural mungkin.
Mari
memberinya pukulan sedikit lalu...
“Tentu
saja bagiku itu normal! KITA SAMA-SAMA LELAKI REI! KAU MEMBUATKU JIJIK!” ucapku
lantang! Home run.
Kulihat
rahangnya mengeras lalu mulai menunduk. Sebentar, apa aku salah?
“Kita
bahkan pernah berciuman. Kita juga saling berjanji untuk bersama selamanya.
Yubi kiri genman, uso tsuitara hari sen bon nomasu – yubi kitta. Begitu kata
kita. Kau sudah berjanji padaku. Kau sudah berjanji.”
Baiklah.
Tampaknya ini sudah harus diakhiri.
“Hentikan
ini Rei. Kau sudah gila.”
Hentikan
ini semua lalu biarkan aku menciummu sekarang.
“Tidak
Gaku. Kau yang mengkhianatiku. Kau harus memotong jari kelingkingmu. Harus.”
Ia
masih menunduk. Perlahan aku mulai menghampirinya. Dan...
Eh?
Apa ini?
Tiba-tiba,
tanpa kusadari, sebuah benda tajam menghunjam tepat di jantungku.
“REIIII!!”
Benda
itu tidak berhenti bergerak. Masuk ke luar ke dalam tubuhku tanpa bisa kucegah.
Darah segar mengalir keluar dari sana seumpama oasis di gurun pasir.
Rei...
Aku
menyebut namanya dalam diamku. Dari mataku, ada air mata yang jatuh dari sudut
matanya yang kosong. Dengan tenaga yang masih sedikit, aku berusaha memberinya
senyum. Senyum perpisahan sekaligus pernyataan....
aku menyukaimu.
.
*
***PS: Cerita ini terinspirasi dari tulisan kak Fini di sini buat #AprilMenulis NBCPalembang
***PSI: Cerita ini terinspirasi dari lagu Big Bang - Lies.
Tidak ada komentar
Posting Komentar