Gambar diambil dari sini |
*
Aku
benci musim dingin.
Aku
benci salju-salju yang jatuh tiba-tiba, tak terencana. Aku juga benci matahari
yang kehilangan lakonnya. Dan aku benci karena musim dingin membuatku tidak
bisa bebas mengambil gambar di luar.
“Takeru-kun!”
Nene-chan
menepuk pundakku ketika aku berjalan lesu ke sekolah. Ia kemudian menyamakan
langkah kakinya denganku.
“Sudah
tahu mau membuat film apa?” tanya Nene-chan lagi.
Aku
mendesah. Film yang dimaksud olehnya adalah tugas yang diberikan para senior
kami di klub film dua minggu lalu. Semacam project
akhir tahun ajaran yang nanti akan menjadi syarat kami apakah benar-benar
diterima sebagai anggota klub film atau tidak. Bagi anggota tahun pertama
sepertiku, masuk klub film adalah mutlak. Sedari dulu, aku menyukai semua hal
yang berbau film. Aku menikmati gambar-gambar yang kuambil lewat camcorder butut pemberian otousan. Sudah banyak gambar yang
kurekam dan sejauh ini mendapat respon yang cukup bagus dari beberapa temanku.
Dan itulah yang kusesali. Aku tidak memiliki stok gambar lagi untuk tugas senior
kali ini.
“Aku
belum tahu,” ucapku pelan.
Nene-chan
mengangguk. “Kalau aku akan buat semacam dokumenter. Film tentang Tokyo Tower!”
ujarnya antusias.
Aku
mengarahkan pandanganku ke arahnya seraya memicingkan mata. “Melodrama lagi?”
Kenapa
‘lagi’? Karena kutahu Nene-chan sangat suka genre itu. Sedangkan aku, meski
tidak menolak, melodrama menjadi urutan terakhir film yang akan kubuat.
Gadis
itu melebarkan senyumannya. “Kalau Takeru-kun pasti tidak mau buat seperti itu,
kan?”
Tepat
sekali.
Baru
saja aku ingin menjawabnya, ada tiga buah objek yang tertangkap mataku di depan
gerbang sekolah. Sebuah objek yang mendadak membuatku tergelitik sehingga
membangkitkan semangat yang ada di dalam dadaku, semangat yang berhasil
mengalahkan rasa benciku pada musim dingin.
“Kenapa
Takeru-kun?” tanya Nene-chan lagi melihatku diam cukup lama.
Aku
berbalik lalu meletakkan kedua tanganku di atas pundaknya. “Arigatou Nene-chan!” seruku.
Nene
menatapku bingung. Sebelum ia bertanya lagi, aku langsung menjawabnya, “Tampaknya,
kali ini aku akan membuat film melodrama!”
*
Aku
mempunyai hobi baru sekarang: menguntit.
Dengan
camcorder yang tak henti-hentinya
lepas dari tangan, aku menguntit objek untuk film-ku. Aku mengikutinya makan,
jalan-jalan hingga sampai rumah, atau sekadar ngobrol santai di taman. Tak
jarang pula aku mengambil gambar hingga malam, saat lampu rumah mereka sudah
padam.
Semua
ini kulakukan hanya demi satu hal: sebuah film yang sempurna.
“Bagaimana,
Takeru-kun?” tanya Nene-chan ketika kami sama-sama berada di ruang film untuk
me-review gambar yang kami ambil.
“Begitulah,”
ucapku sambil tak henti memainkan tombol play-pause
di laptop untuk mencari gambar yang menarik. “Tak ada yang membuatku terkesan.”
“Kau
sudah tanya Kitagawa-san? Siapa tahu objekmu itu akan membantumu.”
“Kalau
Kitagawa-san dan lainnya tahu aku diam –diam merekam, mereka pasti akan marah.
Rencanaku, setelah film ini selesai, baru aku tunjukkan pada mereka,” jawabku
panjang.
Nene-chan
berdeham. “Tapi, kau tahu kan kalau due
date-nya tinggal satu minggu lagi setelah festival, bukan?”
Mau
tidak mau aku menaikturunkan kepala.
“Kalau
kau tidak mendapat adegan yang menarik beberapa hari ini, bukankah lebih baik
kau menyerah saja dan mengganti objeknya?”
Aku
menghela napas. Nene-chan benar. Tampaknya, sudah seharusnya aku mencari
rencana kedua.
*
Ketika
Kitagawa-san berjalan cepat di koridor sekolah saat festival berlangsung, aku
segera menyiapkan camcorder-ku dan
mengikuti langkahnya dari belakang. Sejujurnya, aku sudah hampir menyerah
mengambil gambar mereka. Namun, aku merasa ada satu kejadian yang menarik yang
akan terjadi.
Benar
saja, dugaanku benar. Kitagawa-san melihat kekasihnya berciuman dengan orang
lain. Dengan mantap, kurekam tanpa kulewatkan sedetik pun momen itu. Bahkan,
ketika Kitagawa-san berlari sambil menangis, aku masih merekam.
Merekam
dan terus merekam.
Hingga
beberapa hari kemudian, aku merekam sesuatu yang membuat napasku tertahan.
*
Pengumpulan
film satu minggu lagi dan aku memutuskan untuk membuat perfect ending. Saat
sekolah sedang sibuk karena mencari Tomohiro-san, aku memanggil Hiroshi-san ke
atas atap. Sebelumnya, aku sudah menyiapkan semuanya. Semua yang kulakukan
untuk mendapat akhir yang sempurna.
Hiroshi-san
datang wajah datar sambil tak henti-henti memegang sesuatu di balik kemeja di
dadanya. Aku tahu apa benda itu. Benda itulah yang menjadi alasanku
mengundangnya ke mari saat sekolah telah usai.
“Ada
apa, Ginta-san?” tanyanya ketika berdiri di hadapanku.
Inilah
saatnya.
Aku
mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya cepat. Camcorder di tanganku kupegang erat, takut-takut ia akan merebutnya
cepat.
“Hiroshi-san,
sebelumnya aku ingin minta maaf.”
Satu
alisnya terangkat.
“Selama
ini, aku membuat film tentangmu, Kitagawa-san, dan Tomohiro-san.”
Mendadak,
mukanya menegang. Urat-urat di kepalanya tampak kontras dengan kulitnya yang
pucat.
“Ma—maksudmu?”
“Aku
merekam semuanya,” jawabku lagi.
Hiroshi-san
membulatkan matanya menatapku—mata yang kulihat dulu saat ia memandang
Tomohiro-san. Bulu-bulu di lenganku tanpa kusadari ikut berdiri.
“Aku
melihat kau menatap lain Tomohiro-san di gerbang beberapa minggu lalu dan
kemudian aku memutuskan untuk membuat film tentang kalian bertiga bagi tugas
klub film,” aku mulai menjelaskan semuanya. “Aku mengikuti kegiatan kalian. Aku
merekam semuanya. Mulanya aku ingin menyerah hingga tiba-tiba Kitagawa-san
melihatmu mencium Tomohiro-san, aku tidak bisa diam begitu saja.”
Hiroshi-san
diam saja. Satu tangannya sibuk meremas-remas benda yang ada di dadanya.
“Aku
merekam kejadian terakhir antara kau dan Tomohiro-san. K—kau... membunuhnya.”
Ucapanku
seperti percikan api yang menyambar kayu kering. Hiroshi-san menggerakkan
kakinya satu langkah ke depan, mendekat ke arahku.
“Kau
memotong jari kelingkingnya dan jika aku tidak salah dengar, kau menyebut
tentang yukibiri—janji jari
kelingking?”
Ia
mengambil satu langkah lagi. Jarak kami sekarang hanya terpaut tiga meter. Dua
langkah lagi, mukanya akan tepat berada di depan mukaku.
“Dan
di balik kemejamu itu, aku tahu, itu jari kelingkingnya, bukan?”
Ada
jeda panjang di antara kami. Ini musim dingin dan salju baru turun kemarin.
Namun entah mengapa aku merasa hawa di sani panas—cenderung sesak.
“Apa
yang kau inginkan, Ginta-san?” ia akhirnya bertanya.
Inilah
saatnya. Sebuah akhir yang sempurna untuk filmku ini. Sebuah masterpiece.
“Aku
hanya ingin kau mengaku. Dan itu akan menjadi akhir yang sempurna untuk filmku.”
Ia
mengambil satu langkah terakhirnya. Sebelum sempat aku mundur, ia telah
mencengkeram lenganku keras. Aku berusaha untuk melepaskannya, namun
cengkeraman itu semakin kuat.
“Rei
Hiroshi! Lepaskan aku!”
Dia
tidak bersuara. Matanya berkilat-kilat marah. Ia berusaha mengambil camcorder di tanganku. Aku memberontak
hingga kusadari, ada bunyi gedebuk
keras. Cengkeramannya sudah tidak ada. Mataku membuka.
Ia
jatuh. Begitu saja dari atap sekolah.
Tanpa
sadar, aku menoleh ke sebelah kiriku. Mataku terpaku pada sebuah benda yang
berkedip-kedip merah menyalak.
Sebuah
benda yang kupakai untuk mendapatkan ending
yang sempurna.
....Dan
merekam semua.
*
PS: (Another) (Another) Story of Yukibiri universe
PSII: Diikutkan dalam #AprilMenulis NBCPalembang
Selalu suka sama ceritamu, mas.. :" kenapa update cuma pas ada event?
BalasHapusHaha. Maafkan aku. ^^ Nanti aku coba publish lagi cerita-cerita yang mengendap di laptop, ya. :9
HapusBtw, thanks sudah membaca. :D