Jadi, ini adalah cerita ketiga. Semoga tetap konsisten. :") Cerita ini diambil dari promp hari ketiga @kampungfiksi yaitu Doa. Semoga suka, ya.
Jangan lupa tinggalkan komentar. ^^
*
Gambar diambil dari sini |
*
#3
Yang Diinginkan dan Yang Tak Diinginkan
Kai
Di dunia ini, ada beberapa hal yang
kubenci. Pertama dan yang paling utama adalah perayaan ulang tahun. Kedua,
semua hal yang berjalan tak sesuai dengan rencanaku. Dan ketiga, orang-orang
yang mengatakan diri mereka adalah jurnalis.
Selama ini, aku bisa menghindari
semuanya. Setiap tahun, aku akan mengambil ‘cuti’ dari sekolah saat berulang
tahun. Berbagai alasan kuberikan. Entah sakit, entah urusan keluarga, atau
hanya tanpa kabar. Pokoknya, sepanjang hari itu, aku hanya berbaring di kamar,
berharap hari cepat berlalu.
Menghindari hal kedua pun demikian. Aku
selalu merencanakan semua hal, apapun itu jauh sebelumnya. Bahkan saat SMP, aku
sudah merencanakan kehidupanku beberapa tahun ke depan: masuk sekolah favorit, mengejar
prestasi, dan kuliah di luar negeri. Aku sudah memiliki gambaran jadi apa aku
beberapa tahun ke depan: memegang stetoskop dengan jas putih di sebuah rumah
sakit internasional di ibukota.
Keinginan itu sebenarnya bukan
keinginanku. Hanya saja, seperti aturan tak kasat mata yang membuatku harus
mencapainya.
Dan paling terakhir adalah jurnalis.
Aku tidak suka—mungkin benci mereka. Tidak ada alasan serius. Mungkin karena
aku sudah muak dengan banyak berita yang bertaburan di layar kaca, dibumbui
dramatis agar terlihat ‘lezat’ di telinga, tanpa tahu efek setelahnya.
Prinsipku sederhana: kata-kata dapat
membunuh seseorang. Dan yang paling dekat dari semua itu adalah orang-orang
yang bertopeng atas nama jurnalis media.
Selama ini
kukira aku menjalani hidupku dengan baik. Sayangnya, kadang, semesta suka bercanda. Hal yang paling tidak kita
inginkan malah muncul begitu saja.
“Itu dia... Kaisar silakan masuk.”
Aku mendesah berat sebelum akhirnya
melangkahkan kaki ke ruangan itu. Sebelumnya, aku melihat seseorang mengarahkan
kameranya padaku saat aku berdiri tadi. Namun, aku memilih tidak peduli.
Satu minggu lalu, aku dipanggil oleh
pak Kemas, kepala SMA 35. Beliau mengatakan ingin memberikan rekomendasi
sekolah atas permintaanku untuk melanjutkan studi saat lulus nanti. Akan
tetapi, satu masalahnya: aku tidak memiliki kegiatan ekstrakurikuler. Aku tidak
bergabung di klub manapun. Padahal, beberapa universitas menuliskan kolom itu.
Jadilah, Beliau merekomendasikan Gema—yang
kebetulan sedang mencari anggota baru. Katanya aku sangat cocok masuk ke sana.
Cocok? Hah. Izinkan aku tertawa
sejenak.
Tapi, pada akhirnya tawaran itu aku
terima juga. Sangat sulit bagi klub untuk menerima anggota baru lagi. Terlebih
lagi, pendaftaran itu sudah ditutup satu bulan yang lalu. Melihat
kemungkinannya, Gema adalah satu-satunya pilihan. Demi mewujudkan semuanya agar
tetap on the track. Sesuai rencana.
Perempuan itu lalu menyuruhku duduk di
kursi di pinggiran sebuah meja bundar yang cukup besar, di samping perempuan
lain yang tadi memegang kameranya.
“Rae, ini Kaisar. Dia tadi yang
kuceritakan, masuk Gema karena rekomendasi kepala sekolah.”
Aku merasakan tatapan membunuh yang
mampir sebelum akhirnya kudengar suara perempuan di sampingku.
“Apa? Rekomendasi kepala sekolah?”
Perempuan di hadapanku mengangguk. “Masuk
jalur spesial.”
Hah. Jalur spesial? Yang benar saja!
Perempuan itu menyipitkan matanya,
menatapku kembali. “Memang benar kata Rini, ada orang-orang yang terlahir
dengan keberuntungan.”
Mendengar itu, darahku berdesir lebih
cepat ke seluruh tubuhku. Otakku mendadak pening. Sial.
“Apa? Keberuntungan?” tanyaku dengan
nada geram. Sesungguhnya, banyak kata-kata kasar yang menggantung di ujung
lidah, ingin keluar.
Ia mengangguk. “Kau tahu, aku berjuang
satu tahun penuh untuk masuk ke Gema. Tapi, kau, atas ‘jalur khusus’,” Ia memperagakan
jari telunjuk dan tengahnya dengan sedikit dibengkokkan membentuk tanda petik, “kau
bisa kapan saja bergabung ke dalam sini. Bukankah itu dapat kau sebut dengan
beruntung?”
Dia pasti sedang bercanda.
“Dengar, aku sedang tidak ingin
berdebat. Asal kau tahu—”
“Ada apa ini?”
Aku menoleh ke arah sumber suara.
Perempuan itu pun ikut menoleh. Di pintu ruangan, segerombolan orang sudah
melihat kami heran. Beberapa di antara mereka bahkan tertawa.
Perempuan tadi yang menyambutku kembali
berdiri lalu mengambil tempat di tengah rombongan itu.
“Nah, sepertinya semua sudah lengkap,”
ia berseru. “Sekarang perkenalkan orang-orang di balik Gema. Aku Siska, pakai ‘k’.
Di sampingku,” ia menunjuk laki-laki berkacamata yang sedang memegang satu
kaleng minuman soda, “Bintara dipanggil Bi, anak IPS 4, ketua Gema sekarang.
Selanjutnya ada Rubi, Ajeng, Ratna, Mino, yang bertugas buat liputan. Dion,
Andre, buat desain sampul.”
Semua orang yang disebutkan tadi
memperkenalkan diri. Aku ikutan bangkit namun tak membalas, sementara perempuan
di sampingku ini sedari tadi tersenyum dengan mata yang berbinar. Ternyata, ia
lumayan kecil kalau berdiri. Hanya sebatas daguku mungkin?
Aku berdecak jengkel. Jika aku boleh
meminta doa pada Tuhan kali ini, aku hanya ingin satu hal: semoga saja aku
tidak berurusan lagi dengan perempuan kerdil satu ini.
Dan, semoga Tuhan tidak sedang bercanda
lagi kali ini.
*
Orang bilang, saat nama bulan sudah
tiba dengan akhiran –ber, maka di
saat itulah pepatah sedia payung sebelum hujan perlu dilakukan. Dan seperti
yang kubilang, aku adalah orang yang penuh dengan persiapan, jadi, payung itu
sudah berada di dalam tas.
Sesuai prediksiku, hujan turun deras
dan diselingi beberapa kilat yang berpendar di langit gelap. Sekolah sudah
bubar lima belas menit yang lalu, namun, aku masih tetap berada di sekolah. Ada
tugas kelompok yang harus aku kerjakan.
Setelah selesai, aku keluar dari kelas.
Sekolah sudah sepi. Hanya terlihat beberapa anak yang berteduh di koridor-koridor
sekolah. Mungkin menunggu jemputan. Entahlah, aku tak terlalu peduli. Kuambil
payung hitam yang berada di dalam tas lalu membukanya ketika tiba-tiba kudengar
suara perempuan di telingaku. Aku menoleh ke belakang.
“Halo, Kai!”
Perempuan itu lagi. Pengganggu.
Parasit.
Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak
mengindahkan. Sial, kenapa payung ini susah sekali dibuka?
“Kai!” Bahuku ditepuk dengan keras.
“Apa?” bentakku.
Perempuan itu mundur beberapa langkah. “Aku
hanya menyapa.”
“Aku tidak butuh sapaan!”
Ayolah
membuka...
“Kalau begitu, aku boleh tanya sesuatu?”
Aku tidak menjawab. Tanganku masih
sibuk berusaha membuka payung hitam yang pegangannya sudah mulai berkarat.
“Rumahmu di mana?”
“Apa urusanmu?”
Ia kembali mendekat. Aku memicingkan
mata.
“Rumahku di kompleks Sejahtera. Rumahmu
di sana juga, kan?”
Aku menghentikan kegiatanku lalu
menoleh. “Tak kusangka kau adalah orang yang hobi memata-matai.”
Ia segera melambaikan tangannya cepat. “Jangan
salah sangka. Aku tahu dari inventaris Gema tadi yang kususun.”
Ada hening yang panjang. Aku tidak
berusaha untuk berkata lagi. Membalas perkataannya sama saja dengan
memperpanjang percakapan. Dan seingatku, aku tidak suka perempuan ini.
“Kai,” panggilnya lagi. “Karena kau
punya payung, boleh aku pulang denganmu?”
Untuk saat ini, kepalaku seakan ingin
meledak. Apa aku tidak salah dengar?
“Aku tidak mau.”
Ia mengerutkan keningnya. “Kenapa?”
Aku menghela napas lalu menatapnya
serius. “Pertama, itu karena kau. Kedua, aku tidak suka berbicara denganmu.”
Menyerah.
Payung ini susah dibuka.
Ia mengangguk. “Pertama, karena itu
aku, kau bisa menatap ke arah yang lain. Kedua, sepanjang perjalanan, aku akan
diam hingga kita tidak saling berbicara.”
Aku. Sungguh. Tidak. Percaya. Dengan.
Apa. Yang. Kudengar.
“Tolonglah, aku harus pulang sekarang.
Bunda menungguku. Ada urusan yang mendesak. Dan aku membawa kamera. Kalau naik
angkutan umum tetap harus menerobos hujan. Plis.”
Satu ide terlintas di kepalaku. Aku
menyerahkan payung itu padanya.
“Apa ini?”
“Payung. Ternyata kau tidak cukup
pintar untuk mengetahui apa nama benda itu,” ucapku sinis.
Ia memutar bola matanya. “Aku tahu ini.
Tapi, apa maksudnya?”
“Kau boleh pakai,” jawabku sambil mengulas
senyum kecil. Dalam hati aku tertawa. Payung rusak untuk perempuan yang sama
rusaknya.
“Tapi, kau—”
“Aku akan berlari. Kau bilang ada
keperluan mendesak.”
Ia menimbang sebentar. Raut mukanya
merasa tidak enak. “Tapi—”
“Sudahlah, tak usah dipikirkan. Semoga
sukses.”
Semoga
sukses membuka payungnya sampai sore.
Tepat setelah aku berkata demikian, aku
berlari menebus hujan. Di sela-sela rintik hujan yang semakin menderas, bunyi
klakson yang meraung, dan selokan-selokan yang mulai meluber keluar, aku
tertawa. Sangat lepas. Dan tidak berhenti hingga aku sampai rumah.
Jika Tuhan kali ini memang sedang
bercanda, aku rasa aku menyukai candaannya.
*
Tidak ada komentar
Posting Komentar