Promp keempat yang diberikan oleh @kampungfiksi adalah Romantis. Awalnya aku bingung mau bikin ceritanya gimana. Tapi, akhirnya bikin ini. Semoga masih sesuai sama cerita awal. :")
Selamat menikmati. ^^
*
Gambar diambil dari sini |
*
#4 Cerita tentang Kupu-Kupu dan Gelembung Soda
Rae
Kata film Forest Gump, “Life was like a box of chocolates. You
never know what you’re gonna get.” Film itu sudah kutonton puluhan kali
bersama Bunda, tapi aku masih tetap suka. Kini, aku mengerti maksud dari
perkataan Forest Gump tersebut. Hidup selalu penuh dengan kejutan. Dan kejutan
kali ini datang dari laki-laki ‘beruntung’ bernama Kaisar Anggala.
Jadi, dia tadi rela memberi payung
hitamnya padaku. Catat! Memberi! Sementara ia tadi dengan sukarela tanpa
paksaan apapun (ini penting!) berlari sendiri menembus hujan yang deras
setengah mati. Di tanganku, payung itu masih menutup. Aku membuka pengaitnya
yang berada di samping pegangan lalu voilaaaa...
payung hitam terbuka.
Kaisar adalah penyelamat. Aku dan
kameraku. Dan dalam hati aku berterima kasih.
Ketika aku baru saja hendak menerobos
hujan, tiba-tiba saja seseorang ikut masuk ke dalam payungku. Sontak aku menoleh
dan mendapati Bintara berdiri dengan napas terengah.
“Aku ikut, ya.”
Aku melongo. “Apa?”
Bintara menoleh ke arahku kemudian
tersenyum. “Aku ikut sampai parkiran.”
Bagai tersihir, aku hanya bisa
mengangguk.
Ia mengambil gagang payung yang
kupegang. “Biar aku saja,” ucapnya dengan nada yang berat. “Karena kau
sedikit... hmm... kecil, jika kita berjalan, tampaknya aku harus menunduk.”
Mukaku memerah. Memang sih aku nggak
tinggi-tinggi amat. Akan tetapi, aku juga nggak pendek-pendek amat. Kalau kata
artikel yang pernah kubaca di sebuah majalah, tinggiku ini proporsional buat
dijadiin pacar! Eh!
Aku menyamakan irama berjalanku
dengannya. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya diam canggung. Aku baru
mengenal Bintara—atau biasa anak Gema lain memanggilnya dengan panggilan Bi—sekitar
lima jam yang lalu. Selama di dalam ruangan Gema tadi pun, aku kebanyakan
berbicara dengan Siska, Angga, dan Beno sedangkan Bintara kebanyakan berbicara
dengan Kai. Jadi, ketika dihadapkan dengan keadaan romantis seperti saat ini, aku
jadi bingung membuka obrolan.
Sebentar, romantis? Aku menggeleng
cepat mengusir pikiran itu.
“Pulang ke mana, Rae?”
Aku tersentak sedikit mendengar
pertanyaan yang tiba-tiba itu. Kudongakkan kepalaku ke atas dan kulihat ia
sedang menatapku. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat jelas wajahnya.
Alisnya tebal dengan mata yang cenderung kecil di balik kacamata perseginya.
Pipinya tirus. Bibirnya pun kecil dengan hidung yang menurutku cukup mancung.
Rambutnya setengah basah, terlihat dari beberapa tetes air yang masih bersarang
di sana.
Aku tertegun.
“Rae?”
“Eh, iya. Apa, Bi?” tanyaku balik
dengan gugup.
Bintara kembali tersenyum. “Pulang ke
mana?”
Aku berusaha menenangkan gemuruh yang
tiba-tiba melanda, yang entah berasal dari mana. “Kompleks Sejahtera,” jawabku
cepat. “Beberapa blok dari sini.”
Ia menaik-turunkan kepalanya. “Mau aku
antar sekalian?”
“Apa?” Satu kata itu sukses meluncur
begitu saja.
“Mau aku antar sekalian?” ulangnya
lagi. “Aku bawa mobil. Dan kita juga searah. Biar cepat sampai. Lagian, kasihan
lihat kamu basah.”
Langkahnya berhenti. Aku ikut-ikutan
berhenti. Belum sempat aku jawab, ia sudah membuka pintu samping mobilnya lalu
mempersilakan aku untuk masuk.
Beberapa saat kemudian, mobil melaju.
*
“Jadi, bagaimana hari pertamamu masuk
Gema?” Bintara bertanya di balik kemudi mobil di sela-sela macet yang menerjang
ibukota. Banjir sudah menggenang di mana-mana, membuat kendaraan kami hanya
berjalan tersendat.
“Lumayan,” jawabku.
Ia membunyikan klakson mobilnya sekali
ketika ada motor yang tiba-tiba memotong jalan sebelum kembali melanjutkan
percakapan.
“Semoga betah, ya,” ujarnya lagi.
Aku menarik ujung bibirku. “Pastilah.
Ini adalah impianku sejak setahun yang lalu.”
“Kenapa mau masuk Gema?”
Apa
ini? Semacam wawancara lagi? Mendadak aku keringat dingin.
“Dulu, Ayah dan Bunda adalah jurnalis
kampus,” aku mulai bercerita. “Kata Bunda, jadi seorang jurnalis itu adalah
amanah. Tentang cara kita bisa mengungkap kebenaran. Bunda masih sering cerita
sampai sekarang masa-masa ia dulu. Dan itu yang buat aku tertarik untuk ikut
memulai.”
“Jadi karena ikatan keluarga?”
Mau tidak mau aku mengiakan.
Hening kembali tercipta. Bintara
menyalakan radio di mobilnya. Lagu Somewhere
Over Rainbow mengalun mengisi kekosongan. Sesungguhnya aku benci keadaan
ini. Maksudku, ada seorang Bintara yang sedang menyetir di sampingku, seorang
“Haus, nggak?”
Aku mengernyitkan dahi. Kok tiba-tiba
ke haus, sih?
Bintara memberhentikan mobilnya di
persimpangan lampu merah kemudian membuka kaca jendela. Seekor kupu-kupu
berwarna kuning masuk melalui jendela yang terbuka. Melihat ada pedagang
kinuman, ia membeli dua kaleng soda dingin lalu memberikan satu kepadaku.
“Terima kasih, Bi” ucapku setelah
menerimanya. Sejujurnya, aku nggak haus-haus amat. Tapi, ya bolehlah.
Setelah membayar, lampu berubah hijau.
Setelah simpang ini, rumahku akan terlihat. Dalam hati, ada sesal yang
melingkupiku. Rasa sesal mengapa momen ‘romantis’ ini berlalu begitu saja tanpa
ada kata-kata yang berarti.
“Tahu nggak kalau kupu-kupu itu nggak
bisa terbang kalau lagi hujan?” Tiba-tiba Bintara kembali bersuara.
Aku menggeleng kemudian membuka kaleng
sodaku dan meminumnya. Selama enam belas tahun aku hidup, baru satu kali ini
kudengar ada anggapan begitu.
Bintara ikut-ikutan minum. Tiga
tegukan, kuyakin kaleng itu setengah terisi.
Ia menjawab, “Itu karena butir-butir
air hujan membuat sayapnya basah jadi nggak bisa terbang.”
“Padahal, bukan kupu-kupu namanya kalau
nggak terbang, ya?”
Oke, itu adalah ucapan melantur.
Bintara kembali tersenyum. “Sama
seperti minuman bersoda, tanpa soda hanya jadi minuman biasa. Sebenarnya kita
nggak menikmati rasanya, kita menikmati sensasi gelembung sodanya yang
menggelitik di lidah. Betul, kan?”
Sebentar, sekarang lagi ngomongin apa,
sih? Kupu-kupu dan gelembung soda?
“Jadi jurnalis juga demikian,” Bintara
kembali melanjutkan. “Seperti kupu-kupu yang memiliki sayap, senjata utama
jurnalis itu bukan pena atau kata-kata, tapi logika dan fakta. Namun, logika
dan fakta juga nggak menarik untuk dibicarakan, bukan? Untuk itulah kita perlu
sedikit gelembung soda. Biar buat orang tertarik. Biar beritanya jadi
menggelitik.”
Baru kusadari Bintara bisa se-charming ini.
Mobil laki-laki itu masuk ke dalam
kompleks perumahanku, bahkan aku sendiri tidak menyadarinya sebelum akhirnya ia
berkata, “Di bagian mana?”
Aku terkejut. “Belok kiri. Dua rumah
dari kanan.” Aku memberinya arah rumahku.
“Oke.”
Aku membenarkan posisi dudukku.
Tanganku sudah berada di sabuk pengaman, bersiap untuk melepas.
Bintara memutar kemudi mobilnya untuk
berbelok. Dan berhenti kemudian.
“Terima kasih, ya, Bi,” kataku sambil
melepaskan sabuk pengaman.
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia
menyambar payung hitam pemberian Kai tadi yang terletak di kursi belakang.
Dengan cepat, ia membuka pintunya lalu berjalan menuju pintuku. Ia membukanya.
“Silakan.”
Aku tersanjung akan sikapnya. Kalau
kata Rini sih, seperti drama-drama Korea.
“Makasih banyak, ya.”
“Anytime.”
Ia memberikan payungnya ke tanganku.
Setelah itu, ia berlari menuju pintu mobilnya. Klakson berbunyi sekali lagi.
Perlahan namun pasti, mobilnya menjauh,
meninggalkanku dengan senyum yang teduh.
*
Tidak ada komentar
Posting Komentar