Editor: Sulung S. Hanum & Jia Effendie
Penyelaras akhir: Yuke Ratna P & Idha Umamah
Penata Letak: Wahyu Suwarni
Penyelaras akhir tata letak: Fajar Utami
Desainer Sampul: Amanta Nathania
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: Pertama, 2015
Jumlah hal.: vi + 278 halaman
ISBN: 978-979-780-786-3
Blurb :
Seorang pianis ditemukan mati,
terduduk di depan pianonya, dengan bibir terjahit.
Bola matanya dirusak, meninggalkan lubang hitam yang amat mengerikan.
Rambut palsu merah panjang menutupi kepalanya.
Sementara, otak dan organ-organ tubuhnya telah dikeluarkan secara paksa.
Kulitnya memucat seputih garam.
Bukan, bukan seputih garam.
Tapi, seluruh tubuh sang pianis itu benar-benar dilumuri adonan garam.
Kiri Lamari, penyidik kasus ini,
terus-menerus dihantui lubang hitam mata sang pianis.
Mata yang seakan meminta pertolongan sambil terus bertanya,
kenapa aku mati?
Mata yang mengingatkan Kiri Lamari akan mata ibunya.
Yang juga ia temukan tak bernyawa puluhan tahun lalu.
Garam? Kenapa garam?
Kiri Lamari belum menemukan jawabannya.
Sementara mayat tanpa organ yang dilumuri garam telah ditemukan kembali….
Dia sangat sadis. Dan, dia masih berkeliaran.
*
Setelah kemarin menebak pelaku kasus pembunuhan di blogtour kak Ruwi Meita, akhirnya aku kesampaian juga buat baca buku ini. Dari awal tahun, ketika kutahu kak Ruwi membuat cerita dengan tema detektif, Misteri Patung Garam sudah masuk ke dalam wishlist-ku. Tapi, apa daya, karena keterbatasan waktu dan uang, jadinya aku nggak bisa membelinya dulu. Dan saat menang blogtour, rasanya sangat beruntung. Hahaha.
Misteri Patung Garam adalah buku kak Ruwi Meita keempat yang aku baca setelah sebelumnya Cruise Chronicle, Kamera Penghisap Jiwa, dan Rumah Lebah. Dari empat novel yang kubaca ini, semuanya memiliki twist yang menarik.
Bercerita tentang sosok Kiri Almari, seorang polisi yang mendapat tugas pertamanya setelah dipindahkan ke Surabaya yaitu untuk menyelidiki kasus pembunuhan dengan korban dibuat seolah-olah artistik sesuai profesinya dengan media garam. Hal ini semakin menarik ketika ternyata kasus ini bukanlah satu pembunuhan akan tetapi termasuk pembunuhan berantai. Di dalam kehidupannya sendiri, Kiri menjalin hubungan dengan Kenes, seorang travel-photografer yang akhirnya memilih menetap di Surabaya. Belum lagi munculnya sosok Ireng, anak kecil 'asuhan' Kiri.
Secara garis besar, aku sangat puas dengan novel ini. Ide tentang garam yang disampaikan sangat menarik dan terkesan gak main-main. Jadi nggak sebatas tempelan belaka. Aku pun mendapat banyak sekali pengetahuan baru dari novel ini. Jadi, aku acungkan jempol untuk idenya yang out of the box.
Eksekusi ceritanya pun menurutku pas dengan bacaan orang Indonesia. Jangan bayangkan penyelesaian kasusnya seberat serial kriminal lain seperti Sherlock. Misteri Patung Garam menyajikan alur yang ringan namun berbobot. Tokoh Ireng yang dibuat sebagai katalis dari semua ketegangan yang terjadi membuat kita seakan-akan masuk ke dalam rollercoster. Hubungan romantis Kiri dan Kenes pun nggak menye-menye karena memang fokus utama dari cerita ini adalah kasusnya.
Karakter Kiri pun dibuat sangat humanis. Ia memiliki ketakutan, masa lalu, sisi canggung, romantis, marah, kesal, baik, pahlawan, dan semua yang dijabarkan di novel ini sehingga membuat kita seperti melihat diri kita sendiri. Kiri nggak sempurna, memang. Tapi, bukankah nggak ada manusia yang sempurna.
Dengan tebal hampir 300 halaman, hanya dua hal yang aku nggak suka. :p Mungkin ini bersifat personal, sih. Aku nggak suka diriku sendiri yang sudah membaca twist akhirnya. Nggak sulit sebenarnya menerka twist apa yang disajikan karena clue-nya jelas dari awal. Apalagi, mengutip perkataan kak Ruwi di blognya, Misteri Patung Garam sudah mengungkapkan pelakunya di pertengahan cerita, yang bagiku sudah terbiasa menonton serial kriminal dan membaca novel thriller kriminal macam ini, ya tertebak. :( *pukul diri sendiri*
Kedua tentu epilog. Bagian ini membuat greget. Aku selalu berpikir bahwa sebuah cerita kriminal seharusnya memiliki akhir yang jelas. Siapa pelakunya, motifnya, pola kejahatannya. Pokoknya sampai akhir ceritanya, semua tanda tanya di kepala sudah musnah tak berbekas. Sebenarnya, Misteri Petung Garam memberikan itu--sampai bab terakhir. Akan tetapi, saat membaca epilog, semua cerita yang dibaca tadi seolah sia-sia belaka,. Tanda tanya kembali datang. :( Dan ini bisa berefek baik dan buruk. Buruk karena pembaca seakan dibohongi, baik jikalau ternyata kisah Kiri berlanjut di kasus selanjutnya. *sorak sorai* Dan aku berharap, pilihan kedua. :")
Kesimpulannya, bosan baca novel roman yang bertumpuk di toko buku? Aku sangat menyarankan buku ini! Buat yang nggak suka thriller buku ini bisa menjadi awal mula kalian membaca genre baru. Buat yang sangat suka genre ini, Misteri Patung Garam yang ditulis penulis lokal Indonesia nggak kalah menarik buat dibaca. :""")
Tidak ada komentar
Posting Komentar