Kamu memang pelakon ulung.
Dalam keadaan seperti ini, kamu masih bisa berpura-pura dengan baik. Di hadapanmu saat ini, seorang perempuan kecil senantiasa tersenyum.
"Aku jadi pemeran terbaik di pentas sekolah, Pa!" Anak perempuanmu berkata riang. Tubuhnya meloncat girang dengan kaki yang tak henti-hentinya ia tendang ke udara.
Kamu tersenyum. Tanganmu membelai rambut coklat indahnya yang tergerai.
"Pokoknya, aku mau jadi kayak Papa. Aku mau dapat awards. Aku mau tampil di tivi. Pokonya mau jadi artis terkenal kayak Papa!" ia berkata tak kalah semangatnya.
Lagi-lagi kamu hanya tersenyum. Senyum yang kamu paksa mengembang. Senyum yang sudah kamu latih berulang kali.
"Kapan Papa kembali ke rumah? Syuting Papa belum selesai?"
Dan dalam keadaan seperti inilah keahlianmu diperlukan. Kamu sudah berlatih ratusan kali dan inilah saatnya. Gemuruh di hatimu kamu paksa meredam. Titik-titik air di sudut matamu kamu sumbat dengan cepat, berusaha agar mereka tidak keluar dan menghancurkan semua lakon indahmu sekarang.
Kamu tidak menjawab. Sebagai gantinya, kamu mengambil tubuh anak perempuan itu lalu memeluknya erat. Mendekapnya serasa bahwa ini adalah pelukan terakhir yang akan kamu berikan padanya.
"Rena harus jadi anak yang baik." Akhirnya kata-katamu itu keluar. Kamu mengulangnya bak mantera di telinganya. Kata-kata yang sudah kamu hapal di luar kepala sejak putusan itu dikeluarkan.
"Papa harus kembali kerja sekarang," ucapmu dengan nada bergetar. Pelukanmu kamu paksa lepas.
Anak perempuanmu mengangguk. Tangannya yang kecil mengusap pipimu yang tirus itu. Selanjutnya ia mengecup bibirmu lembut.
"Bulan depan, Rena mau manggung lagi. Kalau Papa nggak sibuk, Papa nonton, ya?"
Aliran napasmu tercekat. Ada sesak yang masuk di dada. Pertahananmu pecah. Air mata itu turun deras, bak air bah yang meluluh lantakkan semuanya.
"Papa kok nangis?" Anakmu bertanya.
Kamu kehilangan kata-kata. Sungguh, terlalu banyak yang ingin kamu ungkapkan, namun berakhir dengan tidak ada satupun suara yang keluar.
"Papa mau kerja, Sayang." Wanita yang pernah jadi istrimu itu berkata. Selama ini ia hanya jadi penonton kalian berdua. Ia lalu mengambil tangan kecil anak perempuan itu. "Ayo pergi."
Anak perempuan itu mengangguk. Dikecupnya sekali lagi bibirmu yang kering. Dan dari matamu, wanita dan anak perempuanmu pergi menjauh. Meninggalkanmu.
Setelah anak perempuanmu pergi, panggung pun berganti. Badanmu digiring ke sebuah lapangan. Kamu di tempatkan di satu titik tepat di tengah. Di hadapanmu, sepuluh manusia berseragam berdiri tegap, mengalahkan tegap tubuhmu yang kamu banggakan.
Inilah klimaks dari panggungmu. Seorang bintang televisi yang tertangkap jauh hari membuat banyak orang mati. Dan adeganmu selanjutnya sudah ditentukan. Hukuman mati. Dan kamu tidak mengingkari.
Kamu menarik napas. Udara di sekitarmu sudah semakin sesak. Matamu memejam. Timah panas melesat ke jantungmu dalam sekejap. Tubuhmu mengejang. Bersama dengan itu, lekas, jiwamu lepas. Bebas. Tak membekas.
***
Warta Kota, 8 Juni 2014.
Randi, artis yang melakukan pembunuhan berencana terhadap dua orang selingkuhannya, hari ini dihukum mati.
Tidak ada komentar
Posting Komentar