A Stranger and Two Broken Heart Stories
||---------------------------------------------------------------------------||
“. . .sometimes one feels freer speaking to a stranger than to people one
knows. Why is that?"
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”
“Probably because a stranger sees us the way we are, not as he wishes to think we are.”
***
Apa yang kau
lakukan ketika sedang patah hati?
Jika kau tanya
aku, aku akan dengan lugas mengatakan; menonton film. Aku bukan tipe laki-laki
yang mudah menangis. Aku hanya menangis untuk dua hal; ketika aku benar-benar
merasa kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku, dan kedua, jika aku
mengantuk, otomatis mataku berair. Tapi, untuk patah hati, itu masih belum
masuk kriteria pertama. Pacar –atau apapun namanya, masih belum cukup berharga
untuk aku tangisi.
Munafik jika
kubilang patah hati tidak berpengaruh dalam hidupku. Bagaimana mungkin, orang
yang sudah terbiasa bersamamu itu tiba-tiba pergi, dan kau masih merasa
baik-baik saja? Sama sepertiku, ada sesuatu di tubuhmu yang tiba-tiba
nyeri,terlepas, atau kau merasa sulit bernapas. Aku sukar menjelaskannya. Tapi,
ada rutinitas yang kembali hilang. Seolah semua hidupmu yang teratur tiba-tiba
mengalami getaran yang membuat sebagian hal tidak bisa kau lakukan lagi.
Dengannya. Ya, cinta adalah kebiasaan, mungkin itu tepatnya.
Dan aku baru
saja patah hati. Patah hati pertamaku.
Dua hari lalu,
aku baru berpisah dengan orang yang sudah terbiasa bersamaku selama satu tahun
terakhir. Perpisahan klise, yang aku tahu persis selalu diucapkan oleh
orang-orang yang sudah bosan dengan pasangannya. Jujur, aku memang orang yang
membosankan. Aku tidak bersikap layaknya seorang laki-laki yang dimabuk cinta.
Tunggu, maksudku, apa yang kau harapkan dari seseorang yang baru pertama kali
mengenal cinta?
Bahkan, untuk
satu tahun ini saja, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan itu yang menjadi
masalah utama bagi kami –baginya.
Lalu, kau bisa
tebak kejadian selanjutnya, dia pergi, dengan alasan yang sangat masuk logika;
ingin fokus belajar.
Aku percaya,
saat dia mengatakan itu. Tapi, kepercayaanku goyah ketika kulihat ia bersama
laki-laki lain. Mesra. Lengannya bergelayut manja di lengan laki-laki itu; hal
yang baru berani aku lakukan setelah hubungan kami menginjak bulan ke tujuh.
Dan akhirnya
aku patah hati, seperti yang kujelaskan tadi.
Jadi
satu-satunya hal yang akan aku lakukan adalah menonton film. Di bioskop. Dan
sendiri.
Ide ini
terlintas saja di benakku. Aku hanya berpikir, menonton film, apalagi komedi,
dapat menyembuhkan luka patah hati. Teoriku. Dan aku harap berhasil. Bukankah
kesedihan harus dibalas dengan kebahagiaan dan tertawa salah satunya?
Kini, di
sinilah aku. Tepat di malam tahun baru. Di saat banyak orang berlomba-lomba
untuk pergi ke beberapa tempat perayaan, aku lebih memilih ke sini. Di sebuah
bioskop yang tampak asing bagiku. Sengaja aku pilih tempat yang tidak
mengingatkanku padanya. Yah, sama seperti luka, semakin sering kau siram di
tempat yang sama, akan semakin lama keringnya.
Di tanganku,
satu lembar tiket sudah anteng kugenggam. Pengeras suara sudah berulang kali
memanggil penonton untuk masuk ke teater tiga, tapi aku masih bergeming. Aku
akan pergi ketika lampu dimatikan, begitu niatku. Tujuannya sudah jelas; aku
tidak ingin diserang dengan tatapan aneh orang satu ruangan karena pergi
sendiri. Rasanya seperti mereka menelanjangimu bulat-bulat dengan mata mereka.
Kau merasa dipermalukan.
Sudah lima
belas menit pintu teater dibuka, barulah aku memantapkan langkah. Aku masuk ke
dalam ruangan itu. Baru saja masuk, aku sudah disambut gelak tawa. Untunglah,
mereka bukan menertawakanku, tapi menertawakan film di belakangku.
Dengan cepat
aku menuju bangku yang sudah tertera di tiket. Bangku paling atas. Setelah
mendapati barisan yang akan kutempati, aku segera duduk. Seperti dugaanku
sebelumnya, biasanya orang menonton film pasti berpasangan. Dan aku memilih
bangku yang tepat di tengah-tengah mereka. Ada dua pasangan di sebelah kiriku
yang menempati bangku satu sampai empat. Sedangkan di sebelah kiriku, ada tiga
orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Tapi, tampaknya, perempuan dan
laki-laki di dua bangku paling ujung adalah pasangan kekasih. Terlihat dari
gerak-gerik mereka yang “mesra” bukan main. Jadi, di sebelahku ini, perempuan
ini, juga sendiri?
Aku
menggelengkan kepala secepat kilat. Sejak kapan aku jadi kepo begini?
Kuarahkan mata
menuju bayar bioskop. Aku berkonsentrasi. Ya, ternyata anggapanku salah. Film
komedi tidak sama sekali membuatku tertawa. Tersenyum pun tidak. Merasa bosan,
aku memutuskan untuk beranjak, tapi tiba-tiba, sebuah tablet tersodor ke
arahku. Dari perempuan di sebelah kananku.
Kau sedang patah hati?
Aku
mengerenyitkan dahi lalu refleks melirik ke arahnya. Sayangnya, tidak jelas aku
melihat. Ruangan gelap bioskop membuat pandanganku kabur. Aku hanya bisa
melihat rambutnya yang tergerai ke samping kiri.
Aku memilih
tidak membalas kata-kata itu. Hingga saat ini, aku masih memegang teguh
kata-kata ibuku. Jangan pernah berbicara dengan orang asing, nasihat beliau.
Jadi, niatku saat ini semakin bulat. Aku harus pergi dari tempat ini.
Perempuan di
sebelahku seperti mengetik sesuatu. Lalu dengan cepat, dia kembali menyodorkan
tabletnya ke arahku.
Kau pasti sedang patah hati. Ketahuan dari sikapmu.
Keningku
semakin berkerut. Apa sebegitu kelihatannya sikapku yang patah hati ini? Aku
bertanya dalam hati. Baru tiga puluh detik aku berpikir, kembali tablet itu
tersodor ke arahku.
Aku sama sepertimu. Aku juga sedang patah hati.
Aku melirik
lagi dari ujung mataku. Perempuan itu tetap menatap layar bioskop, seolah-olah
tidak ada yang terjadi di antara kami.
Kali ini, aku
meladeni permainan darinya. Aku mengambil tablet itu lalu mulai mengetik, Ya, aku sedang patah hati. Jadi, kenapa?
Segera
kukembalikan tablet itu. Dia membaca lalu mengetik dengan cepat.
Mungkin kita bisa saling berbagi?
Aku membaca itu
lamat-lamat. Berbagi? Aku tertawa pahit. Mana mungkin aku berbagi ceritaku
dengan orang yang baru saja aku temui di bioskop? Yang mukanya sendiri pun aku
tidak tahu? Jangan-jangan ini adalah gaya penipuan model baru. Bila aku cerita,
maka ceritaku akan ia rekam dengan satu alat khusus. Lalu, ia akan minta
tebusan. Jika aku tidak melakukannya, ia akan menyebarkan ceritaku di televisi.
Lalu, aku malu. Lalu....
Dia menarik
lagi tabletnya, mungkin karena tidak ada tanda-tanda dariku untuk mengetik
balasannya.
Kita sama-sama sedang patah hati. Berbagi mungkin bisa membuat kita lebih
baik. Mungkin. :)
Aku kehilangan
kata-kata. Perempuan ini tampaknya benar-benar serius untuk melakukannya. Aku
lalu mulai berpikir.
Bagaimana kalau dimulai denganku?
Tulisan itu
terlihat lagi di hadapanku. Entah mengapa, aku merasa mulai tertarik dengan
permainan ini. Pikiran-pikiran sebelum ini langsung berkurang drastis. Mungkin
ini hiburan di tengah patah hatiku, batinku. Kuambil alat itu lalu mulai
mengetik singkat; ya.
Dia tampak
mengetik dengan panjang. Terlihat dari kepalanya yang beralih menunduk
memandangi tabletnya. Aku mulai kembali ke layar bioskop. Entah mengapa,
ceritanya tidak menarik lagi bagiku. Aku menunggu cerita perempuan di
sampingku. Tentang patah hatinya.
Perempuan itu
menyodorkan kembali tabletnya lalu dengan cepat kuambil dan kubaca.
Aku sedang patah hati. Pada seseorang yang bahkan baru satu kali kutemui.
Aku menatap
heran tulisan itu. Ada dua hal yang mengusikku. Pertama adalah kenyataan bahwa
apa yang diketiknya tidak sepanjang
pikiranku. Kedua adalah pertanyaan:
bagaimana mungkin ia patah hati dengan orang yang sama sekali belum ia
temui? Aku berpikir dengan logika-logika yang aku tahu tentang cinta. Meskipun
aku baru pertama kali pacaran, tapi aku banyak membeli buku-buku tentang cinta.
Novel-novel roman juga setia bertengger di lemariku. Tapi, ibarat mencari jarum
di tumpukan jerami, aku tidak mendapatkan jawabannya. Tidak ada cerita yang
seperti itu.
Kuketik
balasanku seadanya; bagaimana mungkin?
Dia mengetik
lagi, dan rasa penasaranku membawaku mencuri pandang ke arah tabletnya.
Aku jatuh cinta pada seseorang yang tidak bisa kumiliki. Orang yang hanya
bisa aku curi pandang dari kamarku. Dan aku patah hati, bahkan sebelum aku tahu
jika aku mencintai.
Kulirik
perempuan di sebelahku. Dia mengambil kembali tabletnya lalu mengetik panjang.
Orang itu hanya bisa kulihat lewat foto. Dulu, aku pernah bertemu
dengannya. Di sebuah acara. Dia menolongku. Dan hanya itu. Tapi kejadian itu
membuatku selalu ingat. Dan tanpa sadar aku jatuh cinta.
Aku jadi
semakin penasaran. Ceritakan.
Ia mengetik
lama. Selama ia melakukan itu, mataku mencoba fokus menatap layar bioskop.
Tapi, sayang, aku tak bisa. Penasaran adalah perasaan yang sangat amat
berbahaya. Ujung mataku tak berhenti melirik ke arah tablet yang diketiknya.
Setelah beberapa menit, ia menyodorkan itu kepadaku.
Aku menarik
napas dalam, mencoba menenangkan diri dari ketertarikanku terhadap hal ini.
Setelah sedikit tenang, aku mulai membaca.
Hari itu, tepat saat malam tahun baru, aku bertemu dengannya. Pertemuan
yang lucu sebenarnya. Aku menghadiri
perayaan tahun baru di Benteng Kuto Besak.
Aku membaca dua
baris pertama lalu mulai menyadari. Aku juga mengikuti perayaan itu tahun
kemarin. Perayaan yang besar. Di pinggiran sungai Musi, lampu-lampu berkilauan
dengan megahnya. Setiap tahun memang begini. Semua kegiatan perayaan berpusat
di pelataran Benteng Kuto Besak, dengan latar Jembatan Ampera, perayaan itu
semakin meriah.
Aku berpikir
sejenak. Sebuah kebetulan yang menarik. Tapi, bukankah hampir setiap orang di
kota Palembang merayakan pergantian tahun di sana?, tanyaku dalam hati. Aku
menepis pikiran itu lalu melanjutkan membaca.
Semua orang penuh sesak. Tapi, jujur, aku tidak begitu menyukai keramaian.
Bahkan jika dalam keramaian itu adalah orang-orang yang aku kenal, aku tetap
tidak menyukainya.
Ceritanya
berhenti di sana. Kebetulan kedua, batinku. Aku juga tidak menyukai keramaian.
Rasanya seperti berada pada pusaran lubang hitam, tapi hanya kau yang tertarik
masuk ke dalam, sementara semesta masih tampak sama.
Sebentar, ada
yang salah. Kok selama ini dia hanya menulis itu? Tangannya lalu terjulur
kepadaku seolah meminta kembali tabletnya. Aku tahu, ia ingin kembali
bercerita. Ia tampak mengetik lagi lalu menyodorkannya kepadaku.
Aku agarophobia. Phobia keramaian. Jika berada di sana, kepalaku mendadak
pening. Panik. Dan begitu juga yang terjadi tahun lalu.
Kenapa kau ke sana? Aku bertanya. Jika dia memang
mengidap phobia itu, apa yang di lakukannya saat perayaan pergantian tahun
lalu?
Kudengar sebuah
helaan napas berat keluar dari bibirnya. Aku ingin sekali menoleh tapi tidak
bisa. Tubuhku terpaku menatap layar yang sudah entah menayangkan apa.
Dipaksa teman. Apalagi.
Kau bodoh, aku mengeluarkan pikiranku lewat tulisan. Kau adalah gadis paling bodoh. Jika merasa
tidak bisa, jangan lakukan.
Iya, aku bodoh. Tapi, aku juga beruntung.
Aku bergeming.
Keberuntungan. Bisa-bisanya dia berpikir begitu. Semu orang di bioskop kini
tertawa, seolah mengamini pikiranku.
Aku semakin tidak mengerti. Ya, aku semakin
tidak mengerti. Bagaimana bisa hal tersebut jadi satu keberuntungan? Aku
membenarkan posisi dudukku yang tidak enak.
Aku kambuh. Kepalaku pusing. Ketika aku sudah hampir jatuh, laki-laki itu
menolongku. Ia membawaku ke tempat yang lebih sepi. Di sisi lain keramaian yang
riuh menantikan pergantian tahun. Di bawah Monpera. Pohon-pohon di sekitarnya
setidaknya membuatku bisa bernapas.
Ah, Monpera.
Monumen Perjuangan Rakyat. Berbeda dengan jembatan Ampera, Monpera tidak
terlalu terkenal. Letaknya walau ada di sisi jalan utama, kebanyakan
terlupakan. Hanya sebagai pemanis. Aku sendiri sebagai kaum pendatang lebih
kagum dengan kebesaran Ampera. Pernah sekali aku ke Monpera, lumayan bagus
juga.
Kami lama berada di sana. Bahkan ketika deru kembang api memecah angkasa,
ia tetap duduk di sampingku. Aku pernah ingat kata-katanya. Ia berujar bahwa ia
senang dengan kembang api. Karena dengan begitu, langit tidak lagi sendiri. Aku
suka filosofinya.
Aku, dengan kepala yang masih pening, berinisiatif mengucapkan terima
kasih. Ia, dengan kepala yang masih mendongak ke atas, lantas tersenyum lalu
mengucapkan terima kasih kembali. Aku tidak mengerti maksudnya namun ikut
tersenyum juga.
Keadaan itu berlangsung hingga seorang temanku datang. Lalu, dia pergi.
Menghilang.
Aku berdeham.
Cinta pada pandangan pertama ternyata. Tu... tunggu, rasanya aku ingat sesuatu,
pikirku. Aku menggeleng menepiskan pikiran di kepalaku lalu membalas cepat.
Jadi kau patah hati karena ia pergi?
Ia menggeleng
sebagai pernyataan tidak. Hmm. Aku mencoba menaruh simulasi kejadian itu di
otakku. Tapi, tetap tidak kutemukan. Menyerah, aku pun mengetik lagi.
Jadi bagian mana yang membuatmu patah hati?
Ia segera
menarik tabletnya. Untuk mengisi kekosongan, aku menarik ujung jaketku. Ruangan
ini sangat dingin. Ditambah satu orang aneh di sampingku. Pas.
Tak lama, ia
memberikannya kembali.
Dua bulan sejak kejadian itu, aku pergi ke kamar kakakku. Dan aku
melihatnya. Berpose canggung dengan kakak perempuanku.
Aku ber-ooh ria
di dalam hati sambil mengangguk mengerti. Melihat masih ada tulisan di
bawahnya, aku melanjutkan membaca.
Ternyata dia pacar kakakku. Dan itu yang membuat aku patah hati.
Ingin rasanya
aku menulis kata sabar dengan berbagai emotikon sedih. Tapi niat itu aku
urungkan. Sebelum sempat aku membalas, ia menyodorkan tabletnya lagi.
Tapi, patah hatiku yang paling parah bukan itu.
Kalimat
terakhir sengaja dibuatnya menggantung. Picik, pikirku. Ia sengaja berbuat itu
agar tahu responku. Dan dia berhasil. Aku penasaran setengah mati.
Kakakku memutuskan pacarnya itu, laki-laki yang aku cintai satu tahun ini.
Aku menatap
heran. Bukankah seharusnya ia senang kakaknya putus dengan laki-laki yang ia
cintai? Kok malah dia patah hati?
Aku mengetik
apa yang ada di pikiranku itu. Kukira ia tidak akan menjawab karena aku
menunggu balasannya agak lama. Namun, setelah lima menit, ia menyodorkan
tabletnya kembali.
Tidak bisa. Kami terlalu sama. Aku tidak bisa begitu saja masuk lalu
mengajaknya berkenalan. Sudah kubilang, kan? Sejak aku melihat fotonya dengan
kakakku, aku sudah patah hati. Ia tidak mungkin kumiliki.
Aku membalas
lagi. Menyerah?
Kadang-kadang ada hal yang memang gak bisa dipaksain. Termasuk cinta. Ia membalasnya.
Tapi, baru satu
kata itu kuketik ketika ia langsung menyerobotnya dan menulis; Ceritakan tentangmu.
Aku berdeham
sebentar. Aku sama sekali tidak berniat menceritakannya, tapi apa boleh buat.
Aku yang melanjutkan permainan ini, maka aku menceritakannya.
Aku patah hati. Pada satu orang yang baru pertama kali aku cintai.
Ia mengetik
cepat di tablet yang kupegang. Keadaan itu membuatku canggung. Ia langsung saja
menerobos di hadapanku. Tapi, Tuhan tidak adil. Aku masih tidak bisa melihat
wajahnya. Tapi, satu hal yang kusadari. Ada lesung pipi di wajahnya.
Cinta pertama?
Aku berdeham
lagi. Kali ini untuk meredakan kenangan yang bergemuruh di hatiku. Kata orang,
ingatan seseorang itu tidak akan pernah hilang. Ia tersimpan erat di satu slot memori di otak. Untuk memanggilnya
kita hanya membutuhkan satu kunci yang pas. Satu biang yang pas. Lalu, ingatan itu akan keluar. Lebur. Luber.
Kini, kenangan
satu tahun lalu kembali menyeruak. Perempuan ini sudah memiliki kunci yang pas.
Samar-samar aku mengingat.
Ya, dia cinta pertamaku. Aku bertemu dengannya ketika menghadiri acara
tahun baru.
Aku dapat ingat
kejadian itu. Hari itu tanggal tiga satu. Seharusnya aku hanya tidur-tiduran di
dalam kos ketika Amar mengajakku untuk pergi ke Benteng Kuto Besak. Ini adalah
tahun keduaku menghabiskan tahun baru di kota ini. Dan tak pernah terpikir
sekalipun untuk menghabiskannya di Benteng Kuto Besak itu. Tapi, Amar
memaksaku.
“Kau harus
paling nggak sekali saja ngerasain tahun baru di sana, Gung!” Amar berseru pada
hari itu.
Aku memasang
tampang tidak setuju. “Di rumah aja. Belajar,” selorohku cepat. “Lagian, sama
aja, kan. Di sana lihat apa? Kembang api? Dari kosan juga ada.”
“Tapi ini beda,
boi. Kita seru-seruan. Rame-ramean.
Kapan lagi coba? Pas udah tamat? Mau sama siapa? Ini udah ada temen-temen, kok
masih nolak?”
Ia memberi
alasan yang sangat masuk akal bahwa aku harus sekali saja merasakan tahun
baruan di sana. Menginjakkan kaki di
ibukota Sumatera Selatan bagiku memang hal yang sangat jarang. Bisa dihitung
dengan jari. Berasal dari kota kecil di bagian lain Sumatera membuatku seperti
itu.
Dan setelah
melalui pikiran yang alot, akhirnya aku setuju. Jadilah saat itu aku berada di
sana. Di Benteng Kuto Besak. Hingga akhirnya aku temukan dia.
Pertama aku melihatnya di antara kerumunan orang-orang di bawah sorot
lampu. Ia tampak kebingungan. Aku mendekatinya ketika ada orang yang
menabrakku. Efeknya seperti domino. Aku pun tidak sengaja menabraknya. Lalu...
Dia mengambil
cepat tablet di hadapanku. Kok sama?
Aku melihat tulisan itu sudah nangkring dengan manis di bawah tulisanku.
Aku ingat. Ini
yang membuatku kepikiran tadi. Kejadian yang hampir sama.
Aku juga tidak tahu. Kadang banyak kejadian aneh di sekitar kita. Termasuk
kejadian kita sekarang ini. Aku tidak tahu pastinya, karena hari itu malam dan
aku tidak terlalu suka keramaian.
Kudengar ia
terkikik geli. Aku pun menarik ujung bibirku. Tampaknya ini mulai seru.
Setelah itu aku kembali bertemu dengannya di kampus. Dan, seperti yang kita
duga sebelumnya, kami menjalin hubungan.
Aku sengaja
tidak melanjutkan. Kulihat ia makin tidak sabar.
Jadi, dia memutuskanku dua hari lalu, aku bercerita. Katanya ingin fokus belajar. Klise. Apakah
semua perempuan memang seperti itu?
Ia menjawab, tidak juga. Mungkin ia memang ingin fokus
belajar.
Tanpa sadar
kepalaku menggeleng, tidak terima. Tapi,
ia mendapat laki-laki baru setelahnya.
Ia tampak
terkejut. Terlihat dari ekspresinya yang terperanjat tidak percaya.
Aku mengetik
lagi. Aku bukan pacar yang baik, kan?
Ia membalas
cepat. Kau orang yang baik.
Aku
mengerenyitkan dahi. Tahu darimana ia tentangku? Padahal kurang dari dua jam
kami bersama, ia sudah berpikiran seperti itu.
Setidaknya kau adalah pendengar yang baik, ia menulis lagi setelah tahu aku tidak merespon. Aku membaca tulisan itu
lalu tersenyum. Perasaan kemarin mendadak menguap. Sepertinya kupu-kupu dalam
perutku siap untuk terbang ke luar.
Tapi, masih ada
satu ja; yang mengganjal di hatiku. Segera aku menulis di tablet itu. Kalau memang seperti itu, mengapa ia
memutuskanku? Aku bertanya lagi.
Ia bergeming.
Dibiarkannya kami berdua terdiam tanpa suara.
Mungkin kalian memang bukan jodoh. Seperti kataku tadi, cinta tidak bisa
dipaksain. Balasan darinya.
Aku bertanya
retoris dalam tulisanku. Jadi, aku harus
gimana?
Gak gimana-gimana juga. ^^ Move on, lah.
Caranya?
Bukankah sekarang kau sedang melakukannya?
Balasan demi
balasan kami lakukan hingga mendadak aku tergagu. Ia benar. Menonton film ini
adalah salah satu upayaku menyembuhkan patah hati. Move on.
Aku juga sedang melakukannya. Kita nggak tahu apa yang terjadi nanti. Jadi,
ya jalani saja. :)
Ia mengambil
tabletnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Kali ini aku sadar, tidak akan ada
lagi tulisan-tulisan selanjutnya. Kami sama-sama sudah mendapat jawaban dari
apa yang kami tanyakan. Tentang patah hati. Dan tanpa sadar kami mengerti,
patah hati bukan untuk didiami. Patah hati, seperti kisahnya yang tidak
mendapatkan orang yang ia cintai, dan kisahku yang setidaknya lebih baik,
pernah mencintai orang yang mencintaiku, pada akhirnya harus berlabuh pada satu
tahap; bangkit.
Tanpa terasa,
film di hadapan kami sudah habis. Lampu perlahan-lahan sudah mulai bersinar
terang. Dan beberapa orang sudah mulai beranjak. Aku dan perempuan di sebelahku
tetap bergeming. Dengan satu detik, kami saling memandangi, berhadapan, dan
saling mengamati wajah kami masing-masing.
“Inga...”
bibirku bergetar mendapati sosok di hadapanku. Aku sangat hapal wajahnya. Mata
yang bulat hitam, dengan hidung yang mancung, serta bibir yang mungil. Yang
berbeda hanya rambutnya. Tidak salah lagi.
Ia juga tampak
terkejut. Dengan bibir sama bergetarnya ia berkata pelan, “Aku... Unge.”
Unge? Aku
menggaruk kepalaku bingung. Jelas-jelas orang di hadapanku ini adalah Inga,
orang yang memutuskanku dua hari lalu. “Ka-kalian?”
“Kembar.”
Kita nggak tahu
apa yang terjadi nanti. Jadi, ya jalani saja, kata-kata itu berputar di otakku.
***
Selamat tahun baru!
Selamat tahun baru!
Selamat tahun menempuh hidup
baru!
***
Surprise is the greatest gift which life can grant us.
Boris Pasternak
Tidak ada komentar
Posting Komentar