Dia,
gadis penyuka langit merah.
Duduk di taman dengan buku yang terbuka.
Halaman pertama,
dia menulis tentang kata yang mencipta,
erat dua manusia.
Halaman kedua,
jari-jari lentiknya menarikan kata-kata,
merajut pelan-pelan dengan rasa.
Halaman ketiga,
penanya berhenti berdansa di sebuah nama,
bibirnya tersenyum ceria.
Di bagian akhirnya,
sebuah hati sudah tergambar penuh makna,
cinta?
2.
Dia,
yang duduk menunggu senja,
tenggelam di taman dengan buku yang terbuka.
Kehabisan kata-kata pada halaman-halaman selanjutnya.
Mantera-mantera cinta sudah dia torehkan,
pada lembar-lembar putih yang tak berdosa.
Dia,
benar-benar,
jatuh cinta.
3.
Dia,
yang tak sempat mencumbu jingga.
Dengan langkah tegap seorang pria menggantikan sebuah pena,
masuk ke jari-jarimu yang lentik.
Buku terbuang dengan percuma,
tanpa pertanda,
dia berubah.
4.
Dia,
yang membanjiri langit dengan air mata.
Tak ada lagi langitnya yang memerah.
Langit samar,
abu-abu kehitaman.
suram.
Tak ada lagi jari-jari yang saling menggenggam,
hanya pedih teriris sepi pada dahan-dahan yang mencumbu hujan.
Dia kehilangan,
dua hal paling berharga dalam hidupnya,
mahkota dan sebuah harga,
dirinya.
Penanya tertawa gembira,
dia menuliskan lagi coretan pada buku usang,
ke halaman berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
berikutnya,
hingga halaman terakhir hanya satu kata,
nama kekasih yang mengkhianatinya.
5.
Hujan turun,
deras sekali.
Dia,
yang menginginkan langit merah.
Bukunya tergeletak sewarna hatinya yang membara,
dia tergeletak,
dengan pena yang menancap tepat di urat nadinya.
Dia,
menemukan sendiri merahnya.
gambar diambil dari sini
Tidak ada komentar
Posting Komentar