"Hai, apa kabar?" kataku dengan senyum mengembang, "bagaimana harimu?"
Kamu diam. Semilir angin senja menerpa wajahmu yang pucat.
Aku mengambil tempat duduk di sebelahmu. Kali ini masih seperti kemarin, ya? Masih di taman ini.
"Aku datang lagi. Kamu bosan?"
Perempuan itu masih saja diam. Aku kesal, mengapa kamu masih saja memasang ekspresi kosong seperti itu.
"Aku ingin jadi kembang api." Akhirnya bibir kecilmu itu mengeluarkan suara juga.
Aku mendesah. Kembang api? Lagi-lagi kembang api! "Jadilah bulan saja, dia terang. Mirip denganmu. Sangat mirip," kataku akhirnya.
"Aku ingin jadi kembang api." Akhirnya bibir kecilmu itu mengeluarkan suara juga.
Aku mendesah. Kembang api? Lagi-lagi kembang api! "Jadilah bulan saja, dia terang. Mirip denganmu. Sangat mirip," kataku akhirnya.
"Aku ingin jadi kembang api," katamu lagi.
"Jadilah bintang saja, selalu ada saat malam," sanggahku.
"Aku ingin jadi kembang api."
"Cukup jadi matahari, dia bersinar, penting bagi semua orang."
"Aku ingin jadi kembang api."
"Lihatlah awan," aku menunjuk gumpalan awan berwarna kemerahan, "bukankah menyenangkan jadi dia? riakannya, kelembutannya, kehalusannya."
Kamu lalu diam. Dan dengan nafas tertahan kamu berujar, "Aku. Hanya. Ingin. Jadi. Kembang. Api."
Aku bangkit, rahangku mengeras. "Mengapa?" tanyaku sambil berteriak murka, "Mengapa kau masih saja ingin jadi sepertinya? Kau tahu, dia yang membuatmu begini! Duduk depresi di kursi tua rumah sakit!"
"Aku ingin jadi kembang api."
"BERHENTI! Banyak yang lebih indah dari kembang api! Bisakah kau berhenti memujanya?" Aku menarik nafas panjang. Darahku dengan cepat berdesir ke otak, membawa serta emosi yang sudah tertumpuk lama.
"Aku bisa menunjukkan semuanya. Apapun yang kau inginkan. Tapi jangan kembang api! Aku muak!"
Aku duduk di hadapanmu. Pelan-pelan aku meraih tanganmu, tapi tidak tergapai. Tembus. Tak tersentuh.
Aku tersenyum pahit. "Tahukah kamu, kembang api yang membuat kita begini. Aku dan kamu. Terpisah dua dunia.." Kata-kataku tercekat. Hilang tak mampu ku lanjutkan.
Kamu bungkam. Untuk lima menit tanpa percakapan, kita saling memutuskan.
Aku berdiri lalu mulai berbalik. "Selamat tinggal, Tania," kataku seraya berlalu.
Samar-samar aku dengar kamu mengucapkannya lagi, "Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api."
"Aku ingin jadi kembang api karena hanya kembang api yang membuatku cemburu. Dia mengambil tempat paling erat di hatimu. Lekat di memorimu."
Ku dengar suara kursi roda berdecit, aku menoleh ke arahmu sekilas. Mendapatimu tertawa menyeringai dan dengan lantang kamu sumbang bernyanyi, "Aku ingin jadi kembang api. Aku ingin jadi kembang api. Lalala~"
Aku berbalik dan bersama senja aku pergi. Tidak kembali.
***
Kembang api meledak di bukit Bintang. Satu tewas, dan satu lainnya gegar otak.
***
Kamis, 02 Agustus 2012
21:29
Di balik jendela sambil menyeruput coklat panas, menantikan kembang api
Tidak ada komentar
Posting Komentar