"Cuacanya bagus ya, Na?" Radith memandang langit dari bingkai jendela tempat mereka duduk.
"Awannya putih bersih, langitnya biru. Jarang-jarang Jakarta bisa kayak gini." Radith melanjutkan sambil menyeruput moccacino dari cangkirnya.
"Dith." Kirana membuka suara. Radith refleks menoleh.
"Aku mohon, Dith. Cuma kamu yang bisa nolong aku." Kirana meminta sembari memegang tangan Radith. Matanya sungguh-sungguh.
"Kenapa harus gue, Na?" Protes Radith. "Gue gak bisa ngekhianatin sahabat gue sendiri. Lo tau Raka sama gue udah kayak saudara. Kalo gue lakuin ini, apa yang bakal dia pikir?"
"Karena aku percaya kamu, Dith. Kamu juga tau alasan kenapa aku lakuin ini. Ini semua buat dia, Dith. Aku sayang Dia. Aku juga gak mau kayak gini. Tapi aku harus. Aku ga ada pilihan lain." Jelas Kirana. Sudut matanya berair.
"Pilihan itu selalu ada, Na. Cuma lo yang ga bisa ngeliatnya. Lo terjebak di pola pikir yang bilang pilihan lo bener. Padahal ini bakal nyakitin lo juga."
Sinar matahari semakin menyengat masuk di antara mereka berdua. Hangat, atau terlanjur panas.
"Emang bakal nyakitin aku, tapi aku ga bisa ngelihat dia sakit lebih dari ini. Aku mohon." Air mata Kirana semakin banyak terjatuh.
Radith menimang-nimang. Diteguknya kembali moccacino yang telah dingin. Pahit.
"Lo tau gue susah dapetin sahabat kayak dia. Selama ini gue gak pernah bener-bener nemuin orang yang klop dengan gue." Radith menarik nafas lalu melepaskannya perlahan. Berat.
"Anggap gue lakuin ini buat dia." Radith berdiri lalu berjalan cepat menjauh meninggalkan Kirana.
Kirana melihat punggung Radith menjauh. Air matanya tidak tertahankan lagi. "Makasih, Dith." Ucap Kirana terisak perlahan.
Radith meninggalkan cafe dengan wajah memerah lalu masuk ke mobilnya.
"Sial!! Apa yang udah gue lakuin?" Gerutu Radith. Mobilnya melaju cepat. Dia hanya ingin pergi ke sebuah tempat : Rumah Raka.
***
Tidak ada komentar
Posting Komentar